RSS
Facebook
Twitter

Monday 30 December 2013

Kesultanan Utsmaniyah


                                                                           Kesultanan Utsmaniyah


Kesultanan Utsmaniyah (1299–1923), atau dikenal juga dengan sebutan Kekaisaran Turki Ottoman, (Turki Utsmaniyah Lama: Devlet-i ʿĀliye-yi ʿOsmāniyye, Utsmaniyah Akhir dan Turki Modern: Osmanlı Devleti atau Osmanlı İmparatorluğu, Bahasa Arab: دولة عالیه عثمانیه ,Daulat 'Aliah Utsmaniah) adalah negara multi-etnis dan multi-religius. Negara ini diteruskan oleh Republik Turki yang diproklamirkan pada 29 Oktober 1923.

Negara ini didirikan oleh Bani Utsman (dalam bahasa Inggris: House of Osman atau Ottoman dynasty), yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 - 1923) dipimpin oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil.

Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi. Dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya, kesultanan ini dianggap sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Kekaisaran Romawi dan Bizantium. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat.
Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20. Setelah Perang Dunia I berakhir, pemerintahan Utsmaniyah yang menerima kekalahan dalam perang tersebut, mengalami kemunduran di bidang ekonomi.

Dalam makalah ini akan membahas tentang hal hal yang terkaiat dengan utsmaniyah, antara lain

1. Kebangkitan Kesultanan (1299-1453)
2. Perkembangan Kerajaan (1453–1683),hal ini meliputi :
    Perluasan Wilayah dan Puncak Kekuasaan (1453–1566)
    Pemberontakan dan Kebangkitan Kembali(1566–1683)
 3. Keadaan Politik dalam negeri Menjelang Keruntuhan,
 4. Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani
 5. Respon atas runtuhnya Turki Usmani di Hindia Belanda (Indonesia)
 6. Daftar Sultan

1. Kebangkitan Kesultanan (1299-1453)
Pada pertengahan abad ke-13, Kekaisaran Bizantium yang melemah telah kehilangan beberapa kekuasaanya oleh beberapa kabilah. Salah satu kabilah ini berada daerah di Eskişehir, bagian barat Anatolia, yang dipimpin oleh Osman I, anak dari Ertuğrul, yang kemudian mendirikan Kesultanan Utsmaniyah. Menurut cerita tradisi, ketika Ertuğrul bermigrasi ke Asia Minor beserta dengan empat ratus pasukan kuda, beliau berpartisipasi dalam perang antara dua kubu pihak (Kekaisaran Romawi dan Kesultanan Seljuk). Ertuğrul bersekutu dengan pihak Kesultanan Seljuk yang kalah pada saat itu dan kemudian membalikkan keadaaan memenangkan perang. Atas jasa beliau, Sultan Seljuk menghadiahi sebuah wilayah di Eskişehir. Sepeninggal Ertuğrul pada tahun 1281, Osman I menjadi pemimpin dan tahun 1299 mendirikan Kesultanan Utsmaniyah.

Osman I kemudian memperluas wilayahnya sampai ke batas wilayah Kekaisaran Bizantium. Ia memindahkan ibukota kesultanan ke Bursa, dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan awal politik kesultanan tersebut. Diberi nama dengan nama panggilan "kara" (Bahasa Turki untuk hitam) atas keberaniannya, Osman I disukai sebagai pemimpin yang kuat dan dinamik bahkan lama setelah beliau meninggal dunia, sebagai buktinya terdapat istilah di Bahasa Turki "Semoga dia sebaik Osman". Reputasi beliau menjadi lebih harum juga disebabkan oleh adanya cerita lama dari abad pertengahan Turki yang dikenal dengan nama Mimpi Osman, sebuah mitos yang mana Osman diinspirasikan untuk menaklukkan berbagai wilayah yang menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.

Pada periode ini terlihat terbentuknya pemerintahan formal Utsmaniyah, yang bentuk institusi tersebut tidak berubah selama empat abad. Pemerintahan Utsmaniyah mengembangkan suatu sistem yang dikenal dengan nama Millet (berasal dari Bahasa Arab millah ملة), yang mana kelompok agama dan suku minoritas dapat mengurus masalah mereka sendiri tanpa intervensi dan kontrol yang banyak dari pemerintah pusat.

Setelah Osman I meninggal, kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah kemudian merambah sampai ke bagian Timur Mediterania dan Balkan. Setelah kekalahan di Pertempuran Plocnik, kemenangan kesultanan Utsmaniyah di Pertempuran Kosovo secara efektif mengakhiri kekuasaan Kerajaan Serbia di wilayah tersebut dan memberikan jalan bagi Kesultanan Utsmaniyah menyebarkan kekuasaannya ke Eropa. Kesultanan ini kemudian mengontrol hampir seluruh wilayah kekuasaan Bizantium terdahulu. Wilayah Kekaisaran Bizantium di Yunani luput dari kekuasaan kesultanan berkat serangan Timur Lenk ke Anatolia tahun 1402, menjadikan Sultan Bayezid I sebagai tahanan.

Sepeninggal Timur Lenk, Mehmed II melakukan perombakan struktur kesultanan dan militer, dan menunjukkan keberhasilannya dengan menaklukkan Kota Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453 pada usia 21 tahun. Kota tersebut menjadi ibukota baru Kesultanan Utsmaniyah. Sebelum Mehmed II terbunuh, pasukan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Korsika, Sardinia, dan Sisilia. Namun sepeninggalnya, rencana untuk menaklukkan Italia dibatalkan.

2. Perkembangan Kerajaan (1453–1683),hal ini meliputi :

Periode ini bisa dibagi menjadi dua masa: Masa perluasan wilayah dan perkembangan ekonomi dan kebudayaan (sampai tahun 1566); dan masa stagnasi militer dan politik.

Perluasan Wilayah dan Puncak Kekuasaan (1453–1566)

Penaklukkan Konstantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1453 mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode penaklukkan dan perluasan wilayah, memperluas wilayahnya sampai ke Eropa dan Afrika Utara; di bidang kelautan, angkatan laut Utsmaniyah mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang kuat. Perekonomian kesultanan juga mengalami kemajuan berkat kontrol wilayah jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.

Kesultanan ini memasuki zaman kejayaannya di bawah beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520) secara dramatis memperluas batas wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti Safavid dari Persia, Ismail I, di Perang Chaldiran. Selim I juga memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan menempatkan keberadaan kapal-kapal kesultanan di Laut Merah.

Pewaris takhta Selim, Suleiman yang Agung (1520-1566) melanjutkan ekspansi Selim. Setelah menaklukkan Beograd tahun 1521, Suleiman menaklukkan Kerajaan Hongaria dan beberapa wilayah di Eropa Tengah. Ia kemudian melakukan serangan ke Kota Wina tahun 1529, namun gagal menaklukkan kota tersebut setelah musim dingin yang lebih awal memaksa pasukannya untuk mundur. Di sebelah timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Baghdad dari Persia tahun 1535, mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia dan Teluk Persia.

Di bawah pemerintahan Selim dan Suleiman, angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan, mengontrol sebagian besar Laut Mediterania. Beberapa kemenangan besar lainnya meliputi penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Spanyol; Evakuasi umat Muslim dan Yahudi dari Spanyol ke wilayah Kesultanan Utsmaniyah sewaktu inkuisisi Spanyol; dan penaklukkan Nice dari Kekaisaran Suci Romawi tahun 1543. Penaklukkan terakhir terjadi atas nama Perancis sebagai pasukan gabungan dengan Raja Perancis Francis I dan Hayreddin Barbarossa, admiral angkatan laut Turki saat itu. Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah, bersatu berdasarkan kepentingan bersama atas kekuasaan Habsburg di selatan dan tengah Eropa, menjadi sekutu yang kuat pada masa periode ini. Selain kerjasama militer, kerjasama ekonomi juga terjadi antar Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah. Sultan memberikan Perancis hak untuk melakukan dagang dengan kesultanan tanpa dikenai pajak. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah dianggap sebagai bagian dari politik Eropa, dan bersekutu dengan Perancis, Inggris, dan Belanda melawan Habsburg Spanyol, Italia, dan Habsburg Austria.

    Pemberontakan dan Kebangkitan Kembali(1566–1683)

Sepeninggal Suleiman tahun 1566, beberapa wilayah kekuasaan kesultanan mulai menghilang. Kebangkitan kerajaan-kerajaan Eropa di barat beserta dengan penemuan jalur alternatif Eropa ke Asia melemahkan perekonomian Kesulatanan Utsmaniyah. Efektifitas militer dan struktur birokrasi warisan berabad-abad juga menjadi kelemahan dibawah pemerintahan Sultan yang lemah. Walaupun begitu, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansi yang besar sampai kejadian Pertempuran Wina tahun 1683 yang menandakan berakhirnya usaha ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa.

Kerajaan-kerajaan Eropa berusaha mengatasi kontrol monopoli jalur perdagangan ke Asia oleh Kesultanan Utmaniyah dengan menemukan jalur alternatif. Secara ekonomi, pemasukan Spanyol dari benua baru memberikan pengaruh pada devaluasi mata uang Kesultanan Utsmaniyah dan mengakibatkan inflasi yang tinggi. Hal ini memberikan efek negatif terhadap semua lapisan masyarakat Utsmaniyah.

Di Eropa Selatan, sebuah koalisi antar kekuatan dagang Eropa di Semenanjung Italia berusaha untuk mengurangi kekuatan Kesultanan Utsmaniyah di Laut Mediterania. Kemenangan koalisi tersebut di Pertempuran Lepanto (sebetulnya Navpaktos,tapi semua orang menjadi salah mengeja menjadi Lepanto) tahun 1571 mengakhiri supremasi kesultanan di Mediterania. Pada akhir abad ke-16, masa keemasan yang ditandai dengan penaklukan dan perluasan wilayah berakhir.

Di medan perang, Kesultanan Utsmaniyah secara perlahan-lahan tertinggal dengan teknologi militer orang Eropa dimana inovasi yang sebelumnya menjadikan faktor kekuatan militer kesultanan terhalang oleh konservatisme agama yang mulai berkembang. Perubahan taktik militer di Eropa menjadikan pasukan Sipahi yang dulunya ditakuti menjadi tidak relevan. Disiplin dan kesatuan pasukan menjadi permasalahan disebabkan oleh kebijakan relaksasi rekrutmen dan peningkatan jumlah Yanisari yang melebihi pasukan militer lainnya
Murad IV (1612-1640), yang menaklukkan Yereva tahun 1635 dan Baghdad tahun 1639 dari kesultanan Safavid, adalah satu-satunya Sultan yang menunjukkan kontrol militer dan politik yang kuat di dalam kesultanan. Murad IV merupakan Sultan terakhir yang memimpin pasukannya maju ke medan perang.

Pemberontakan Jelali (1519-1610) dan Pemberontakan Yenisaris (1622) mengakibatkan ketidakpastian hukum dan pemberontakan di Anatolia akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, dan berhasil menggulingkan beberapa pemerintahan. Namun, abad ke-17 bukan hanya masa stagnasi dan kemunduran, tetapi juga merupakan masa kunci di mana kesultanan Utsmaniyah dan strukturnya mulai beradaptasi terhadap tekanan baru dan realitas yang baru, internal maupun eksternal.

Kesultanan Wanita (1530-1660) adalah peridode di mana pengaruh politik dari Harem Kesultanan sangat besar, di mana ibu dari Sultan yang muda mengambilalih kekuasaan atas nama puteranya. Hürrem Sultan yang mengangkat dirinya sebagai pewaris Nurbanu, dideskripsikan oleh perwakilan Wina Andrea Giritti sebagai wanita yang saleh, berani, dan bijaksana. Masa ini berakhir sampai pada kekuasaan Sultan Kösem dan menantunya Turhan Hatice, yang mana persaingan keduanya berakhir dengan terbunuhnya Kösem tahun 1651. Berakhirnya periode ini digantikan oleh Era Köprülü (1656-1703), yang mana kesultanan pada masa ini pertama kali dikontrol oleh beberapa anggota kuat dari Harem dan kemudian oleh beberapa Perdana Menteri (Grand Vizier).

Keadaan Politik dalam negeri Menjelang Keruntuhan

Politik di sini dibagi jadi dua. Pertama politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di wilayahnya; mengatur mu'amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum, menjaga akhlak, mengurus urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan syi'ar dan ibadah. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara Islam. kedua adalah politik luar negeri,
Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur

    Pertama, buruknya pemahaman Islam.
    Kedua, salah menerapkan Islam.

Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis Ibrohimul Halabi (1549)sebagai pedoman dalam hal syariah dan muamalah sehingga administrasi negara menjadi lebih mudah dan terstruktur rapi. Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1 mazhab.

Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman II (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788)[5]. Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826), sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni.

Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan peawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.

Paruh kedua abad ke-16, terjadilah krisis moneter saat emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat kolonial Spanyol. Mata uang khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat. Mata uang Baroh diluncurkan khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata uang Qisry di abad ke-17. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada paruh kedua abad ke-16. Akibat adanya korupsi negara harus menanggung utang 300 juta lira.

Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari.

Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).

Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.

Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani

Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.

Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.

Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.

Respon atas runtuhnya Turki Usmani di Hindia Belanda (Indonesia)
Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah. Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah di Kairo [12]. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924, yang diikuti 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat (hoofdbestuur) maupun cabang (afdeling), serta mendapat dukungan tertulis dari 10 cabang organisasi lainnya. Kongres ini juga dihadiri oleh banyak ulama dari seluruh penjuru Hindia Belanda. Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi.

Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3 penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama senior dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sempat mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan pembaharu, dan menyerukan kepada Ibnu Sa'ud], penguasa baru di Arab Saudi agar kebiasaan beragama yang benar dapat diteruskan . Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama.

Pada tahun yang sama diselenggarakan Muktamar Alam Islamy Far'ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam Cabang Hindia Timur) di Bogor, sebagai respon atas undangan Kongres Islam Sedunia yang diselenggarakan Ibnu Saud dari Arab Saudi. Pada tanggal 13-19 Mei 1926, diadakan Kongres Dunia Islam di Kairo. Dari Hindia Belanda hadirlah H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Di bulan berikutnya (1 Juni 1926) diselenggarakan Kongres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 utusan, yakni Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukan mereka ditetapkan pada Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan V di Bandung (6 Februari 1926). Mereka berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya dengan kapal Rondo dan dielu-elukan masyarakat. Sesampai di Tanjung Priok banyak pemimpin Islam yang menyambut ke pelabuhan.

Pada tahun 1927 berlangsung Kongres Khilafah II di Makkah. Hindia-Belanda diwakili oleh H. Agus Salim (SI).

Daftar Sultan

Di bawah ini adalah daftar sultan yang memerintah di Kesultanan Utsmaniyah sampai berdirinya Turki sekuler.


    Osman I (1281-1326; )
    Orhan I (1326-1359; )
    Murad I (1359-1389; sultan sejak 1383)
    Bayezid I (1389-1402)
    Interregnum (1402-1413)
    Mehmed I (1413-1421)
    Murad II (1421-1444) (1445-1451)
    Mehmed II (sang Penguasa) (1444-1445) (1451-
    1481)
    Bayezid II (1481-1512)
    Selim I (1512-1520)
    Suleiman I (yang Agung) (1520-1566)
    Selim II (1566-1574)
    Murad III (1574-1595)
    Mehmed III (1595-1603)
    Ahmed I (1603-1617)
    Mustafa I (1617-1618)
    Osman II (1618-1622)
    Mustafa I (1622-1623)
    Murad IV (1623-1640)
    Ibrahim I (1640-1648)
   Mehmed IV (1648-1687)
    Suleiman II (1687-1691)
    Ahmed II (1691-1695)
    Mustafa II (1695-1703)
    Ahmed III (1703-1730)
    Mahmud I (1730-1754)
    Osman III (1754-1757)
    Mustafa III (1757-1774)
    Abd-ul-Hamid I (1774-1789)
    Selim III (1789-1807)
    Mustafa IV (1807-1808)
    Mahmud II (1808-1839)
    Abd-ul-Mejid I (1839-1861)
    Abd-ul-Aziz (1861-1876)
    Murad V (1876)
    Abd-ul-Hamid II (1876-1909)
    Mehmed V (Reşad) (1909-1918)
    Mehmed VI (Vahideddin) (1918-1922)
    Abd-ul-Mejid II, (1922-1924; hanya sebagai Kalifah)


Referensi

 An-Nabhani, Taqiyyuddin (13 April 2012). Ad-Daulatul Islamiyyah. Darul Ummah.
 Asy-Syalabi, Ali Muhammad (13 April 2012). Bangkit dan Runtuhnya Khilafah 'Utsmaniyah. Pustaka Al-Kautsar.
  Mufradi, Ali (13 April 2012). Kerajaan Utsmani dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
Musthafa, Nadiyah Mahmud (13 April 1996). Al-'Ashrul 'Utsmani minal Quwwatul Haimanah ila Bidayatul Mas'alatusy Syarqiyyah. Al-Ma'hadul 'Alami lil Fikrul Islami.
 Marjeh, Maufaq Bani (13 April 1996). Shahwatur Rajulul Maridh au as-Sulthan 'Abdul Hamid ats-Tsani wal Khilafatul Islamiyyah. Darul Bayariq..
 Harb, Muhammad (13 April 1998). Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II. Darul Qalam
 Bandera Islam, 16 Oktober 1924
   Noer, Deliar (13 April 1973). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES.
   Hindia Baroe, 9 Januari 1925
    Suryanegara, Ahmad Mansur (13 April 1998). Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia.  
    Mizan..

Metode dan Mazhab Tafsir

 Metode dan Mazhab Tafsir [1]

Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampilkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. Al-Qur’an  selalu dijadikan sebagai pedoman  dalam setiap aspek kehidupan dan Al-Qur’an  merupakan  kitab suci ummat  Islam yang selalu relevan  sepanjang  masa. Relevansi  kitab suci ini terlihat  pada petunjuk-petunjuk  yang diberikannya  kepada  umat manusia  dalam berbagai aspek kehidupan yang tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.

Allah telah menurunkan Al-Qur`an kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna bukanlah tanpa adanya alasan dan tujuan yang jelas. Al-Qur’an  yang diturunkan  Allah  untuk ummat  manusia  dijadikan sebagai hudan, bayyinah, dan furqan. Sebagaimana Allah berfirman :[2]
    '' Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,”

Pemaknaan yang terkandung dalam Al-Qur`an terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah sehingga muncullah banyak penafsiran tentangnya, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat akan makna. Inilah sebabnya  untuk memahami  Al-Qur’an  di kalangan  ummat  Islam  selalu  muncul  berbagai multi interpretasi atas ayat yang ada dalam Al-Qur`an seiring kebutuhan  dan tantangan  yang mereka  hadapi. Kendatipun demikian, hal tersebut menjadi warna tersendiri dalam memahami ayat-ayat Al-Qur`an sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Agar fungsi Al-Qur’an tersebut dapat terwujud, maka kita harus menemukan  makna firman Allah SWT saat menafsirkan Al-Qur’an. Upaya untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk mencari dan menemukan makna- makna yang terkandung di dalamnya. Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa Al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai  pemikiran  dan penjelasan  pada tingkat  wujud adalah  mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka untuk diinterpretasi pada perkara baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.[3]

Corak penafsiran Al-Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan  berbagai corak penafsiran yang berkembang  menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode  yang berbeda-beda.

Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran Al-Qur’an. Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan Al-Qur’an secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka. Diantara metode penafsiran yang popular dikalangan para ulama tafsir adalah metode tahlili (analitik), metode Ijmali (Global), metode muqaran (komparatif), dan metode mawdu`i (tematik).

Dengan latar belakang pemikiran di atas, maka masalah pokok yang akan dibahas dalam makalah ini adalah  menyangkut  berbagai  metode  yang digunakan mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.  Dan lebih ditekankan pada pengertian metode dengan kosakata yang berkaitan dengan metode tafsir seperti metode, aliran, cara, orientasi, dan corak.  Kemudian  dilanjutkan  dengan  perkembangan metode tafsir, pembagian metode tafsir kelebihan dan kelemahannya  dan terakhir  pembahasan  mengenai  metode  yang relevan  untuk  penafsiran masa kini.

Sebelum jauh memahami berbagai metode tafsir dalam memahami Al-Qur`an, alangkah baiknya terlebih dahulu kita mengetahui makna dan perkembangan tafsir itu sendiri sebagai bagian dari cara untuk memahami makna yang tersirat di dalam Al-Qur`an. Karena tidak menutup kemungkinan sejarah tentang perkembangan tafsir juga dapat mempengaruhi terhadap corak dari berbagai metode tafsir yang telah ada dan berkembang sampai saat ini.

PENGERTIAN METODE TAFSIR

Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Katakan saja, corak penafsiran Al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an. M. Quraish Sihab mengungkapkan bahwa dalam perkembangannya, ilmu tafsir dengan berbagai metodenya memiliki corak masing-masing dalam melakukan penafsiran terlebih karena adanya pengaruh fiqih, tasawuf, atau bahkwan tasawuf sekalipun.

Namun sebelum jauh mengenal corak-corak yang mempengaruhi terhadap perkembangan metode tafsir, terlebih kita memahami dahulu tafsir dan metodenya itu sendiri. Istilah metode diambil dari bahasa inggris yaitu method artinya serangkaian praktek, prosedur dan aturan yang digunakan dalam suatu disiplin ilmu atau penyelidikan, dan dari bahasa latin methodus yang kemudian diserap dalam bahasa yunani menjadi methodos yang berarti cara atau jalan. Sedangkan dalam bahasa arab metode diartikan sebagai manhaj atau minhaj artinya jalan yang terang. Demikian maskud metode adalah suatu jalan atau cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan.[4] Lebih lanjut menurut Steven J. Taylor mengungkapkan bahwa Metode merujuk pada proses, prinsip, dan prosedur yang diikuti dalam mendekati persoalan dan menemukan jawabannya. [5]

Sedangkan istilah tafsir secara etimologis diambil dari kata fassar-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian, Al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir adalah al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. [6] secara terminologis, tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia/ mufassir. Sedangkan tujuannya itu sendiri adalah untuk mengklarifikasi maksud sebuah teks.[7] 

Dalam beberapa pendapat seperti yang dikemukakan Az-Zarkasyi, tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW., serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya. Sedangkan menurut Syekh Al-Jaziri dalam Shahih At-Taujih mengemukakan bahwa tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah-nya. [8]

Dalam mempelajari tafsir, yang menjadikan objek awal tafsirnya itu sendiri adalah teks Al-Qur`an, dengan memberikan perhatian penuh pada teks tersebut agar jelas maknanya. Selain itu, juga memberikan arti fungsi secara simultan mengadaptasikan teks pada situasi yang sedang dihadapi mufassir. Dengan kata lain, kebanyakan penafsiran tidaklah murni teoritis, ia memiliki aspek praktis untuk membuat teks dapat diterapkan dalam memantapkan keimanan dan menjadi pandangan hidup orang mukmin.

SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR

Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat. Rasulullah beserta para sahabatnya mentardisikan, menguraikan dan menafsirkan Al-Qur`an sesaat setelah turunnya ayat tersebut. Tradisi itu terus berlangsung sampai wafatnya Rasulullah. Dalam melakukan penafsiran  terhadap ayat-ayat  Al-Qur’an  pada saat itu dikenal dengan tafsir bil al-matsur sebagai tafsir yang bersumberkan dari Nabi, Sahabat, Tabiin, Tabi`it tabi`in sampai diturunkannya ke setiap generasi melalui periwayatan.[9] Tradisi penafsiran melalui tafsir bil al-matsur berlangsung sampai periode awal pengkodifikasian hadits, yang pada saat itu tafsir merupakan salah satu bagian kitab hadits itu.[10] 

Menjelang akhir pemerintahan bani umayah dan awal pemerintahan bani abbas, yakni tatkala terjadi pengkodifikasian secara besar-besaran beberapa disiplin ilmu, barulah tafsir terpisah dari kitab hadits dan menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Maka disusunlah kitab tafsir ayat per ayat berdasarkan susunan mushaf. Pekerjaan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an ini mengalami kesempurnaan ketika berada pada tangan para ulama seperti Ibn Majah yang wafat pada tahun 310 Hijriah dan An-Naisabury yang wafat pada tahun 318 Hijriah, kegiatan penafsiran seperti ini berlansung sampai sekarang ini.[11]

Semenjak saat itulah tafsir berkembang dan tumbuh seiring dengan keragaman yang dimiliki para mufassir sehingga sampai kepada bentuk yang sampai saat ini dapat dilihat. Akan tetapi perlu didingat, bahwa dalam melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an, seorang mufassirin tidak dapat dilepaskan dari corak pemikirannya atau bahkan kepribadiannya yang menjadi latar belakang dalam memaknai, menguraikan dan menafsirkan suatu ayat dalam Al-Qur`an, seperti halnya corak dari tafsir sufistik, tafsir fiqih, tafsir falsafi, tafsir ilmi, tafsir adabi ijtima`i. Dari berbagai corak tafsir tersebut dinukilkan secara bersamaan tanpa dibeda-bedakan kelahirannya dengan tafsir bil al matsur.

Kelahiran tafsir sebagai sautu disiplin ilmu telah banyak melahirkan berbagai metode tafsir Al-Qur`an seperti metode Ijmali Global) yang cenderung memiliki bentuk bil matsur,[12] tahlili (Analitis) sebagai metode tafsir yang lahir sebagai bentuk jawaban dari perkembangan pemikiran ummat terhadap penafsiran Al-Qur`an yang didasarkan pada tafsir ra`yi,[13] dengan banyaknya penafsiran ulama terhadap ayat-yat Al-Qur`an tanpa menafikan banyaknya pengaruh dari corak pemahaman tafsir itu sendiri seperti tasawuf, fiqih, bahasa, bahkan falsafi, maka tafsir muqarin (Perbandingan) terlahir sebagai metode tafsir yang memuat perbandingan pandangan terkait corak yang dimiliki mufassirin seperti munculnya kitab tafsir Darrat al-Tanzil wa Ghurrat al- Ta’wil karya al-Iskaf, dan pada perkembangan tafsir berkitunya terlahir pula metode tafsir maudhu`i (tematik) sebagai upaya untuk memudahkan pemahaman dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qur`an berdasarkan tema-tema tertentu semisal tentang ilmu, ibadah, agama dan lain sebagainya tanpa harus melakukan penelusuran lebih lama dengan menguras banyak waktu.

Dari berbagai metode tafsir yang ada sampai sekarang ini, kesemuanya dapat memberikan  pengertian  dan penjelasan  yang rinci terhadap  pemahaman  ayat-ayat  Al-Qur’an. Ummat merasa  terayomi oleh penjelasan-penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.  Maka pada perkembangan selanjutnya, metode penafsiran serupa juga diikuti oleh ulama-ulama tafsir, bahkan berkembang dengan sangat pesat dengan menyandarkan ke dalam dua bentuk penafsiran yaitu tafsir al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai corak yang dihasilkannya,[14] seperti fiqih, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi ijtima’I dan lain-lain.[15]

Lahirnya  metode-metode  tafsir tersebut,  disebabkan  oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Katakan saja, pada zaman Nabi dan Sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika ayat-ayat Al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relatif dapat memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat. Maka, pada kenyataannya umat pada saat itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan secara global (ijmal). Itulah sebabnya Nabi tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika mereka bertanya tentang pengertian suatu ayat atau kata di dalam Al-Qur’an.

Berdasarkan kenyataan historis tersebut, dapat dikatakan bahwa kebutuhan  ummat Islam saat itu terpenuhi olah penafsiran  yang singkat (global), karena mereka tidak memerlukan penjelasan yang rinci dan mendalam. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa memang pada abad pertama berkembang  metode global (ijmali) dalam penafsiran  ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode Ijmali terasa  lebih praktis  dan mudah  dipahami,  kemudian  metode  ini banyak diterapkan.  Ulama yang menggunakan  dan menerapkan  metode ijmali pada periode awal, seperti : Al-Suyuthi dan Al-Mahalli di dalam kitab tafsir yang monumental  yaitu kitab tafsir Jalalain, dan Al-Mirghani di dalam kitab Taj Al- Tafsir, dan lain-lain. Tetapi pada periode berikutnya, setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran  Islam.[16]  Maka, konsekuensi  dari perkembangan  ini membawa pengaruh  terhadap  penafsiran  ayat-ayat  Al-Qur’an  yang sesuai  dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan ummat yang semakin kompleks dan beragam.

Corak-corak Tafsir

1)       Tafsir Sufistik
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, telah memunculkan ilmu tasawuf yang memberikan corak pada ilmu tafsir.[17] Terdapat dua aliran dalam tasawuf yaitu :

a)       Aliran tasawuf teoritis (Falsafi)
Dalam aliran ini banyak tokoh-tokoh tasawuf yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami Al-Qur`an dengan sudut pandang teori-teori tasawuf mereka dengan menakwilkan ayat-ayat Al-Qur`an tanpa mengikuti cara yang benar seperti penyimpangan dalam pengertian tekstual yang telah dikenal kebenarannya dalam segi bahasa. Adz-Dzahabi mengemukakan temuannya dalam kitab tafsir Isyari, bahwa di dalamnya tedapat penafsiran Al-Qur`an secara parsial yang dinisbatkan kepada Ibn `Araby pada kitab Futuhat Al-Makiyyah dan Al-Fushush yang ditulis oleh Ibn Araby.

b)       Aliran tasawuf praktis (Akhlaqi)
Tasawuf praktis adalah cara hidup sederhana, zuhud, dan sifat meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Ulama aliran ini menamai karyanya dengan tafsir isyarat, yakni menakwilkan Al-Qur`an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya seperti isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju Allah).

Para sahabat pun banyak yang mengungkapkan tafsir isyarat ini berbarengan kemunculannya dengan tafsir bil al matsur. Tafsir sufistik dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut :
(1)     Tidak menafikan makna lahir (Pengetahuan tekstual Al-Surqan),
(2)     Penafsirannya diperkuat oleh dalill syara` yang lain,
(3)     Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara` atau rasio
(4)     Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstualnya dan mengakui pengertian tekstual terlebih dahulu.
Kitab-kitab tentang tafsir sufistik diantaranya :
(1)     Tafsir Al-Qur`an Al-Azhim, karya imam At-Tusturi (w. 283 H),
(2)     Haqa`iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412),
(3)     Arais Al-Bayan fi Haqa`iq Al-Qur`an, karya Imam Asy-Syirazi (w. 283)


2)       Tafsir Fiqih
Tafsir fiqih semakin berkembang seiring dengan majunya intensitas ijtihad. Pada awalnya, penafsiran-penafsiran fiqih terlepas dari kontaminasi hawa nafsu dan motivasi negatif. Hal ini berlahangsung sampai munculnya mazhab fiqih yang berbeda-beda. Banyak para ulama melakukan ijtihad di bawah naungan Al-Qur`an dan Hadits dalam melakukan penetapan hukum yang tidak diperinci dalam Al-Qur`an.

Setelah kemunculannya imam besar mazhab fiqih, banyak diantara ummat yang fanatik sehingga banyak melahirkan macam-macam tafsir fiqih menurut mazhab yang dianutnya, seperti mazhab khawarij, syiah dan lainnya. Diantara kitab tafsir fiqih diantaranya :

a)       Ahkam Al-Qur`an, Karya Al-jashash (w. 370)
b)       Ahkam Al-Qur`an, karya Ibn Arabiy (w.543)
c)       Al Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, karya Al-Qurtubhy (w. 671)

3)       Tafsir Falsafi
Salah satu pemicu awal kemunculan keberagaman penafsiran adalah perkembangan budaya dan pengetahuan ummat Islam. Bersamaan dengan itu, pada masa dinasti Abbasyiah digalakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa arab, diantara buku-buku itu adalah buku filsafat. Dalam menyikapi persoalan ini, ummat Islam terbagi menjadi dua golongan yakni :

a)       Golongan pertama, menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof karena bertentangan dengan aqidah dan agama. Dari golongan ini lahir kitab Mafatih Al-Ghaib, karya Al-Fakhr Ar-Razy (w.606)
b)       Golongan kedua, mengagumi filsafat, banyak diantara mereka secara tekun dan menerima filsafat selama tidak bertentangan dengan Islam.

4)       Tafsir Ilmi
Allah telah mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniyah, di samping ayat-ayat qur`aniyah. Dengan semangat ini bermunculanlah mufassir yang menafsirkan ayat-ayat kauniyah dengan bertolak dari proporsi pokok-pokok bahasa, dari kapasitas keilmuan yang dimiliki, dan dari hasil pengamatan langsung terhadap fenomena alam. Namun mereka membatasi diri pada penjelasan ayat per ayat secara parsial tanpa menyertakan ayat-ayat yang memiliki tema serupa.
Diantara mufassir yang mendalami tafsir ilmu ini adalah:
a)       Imam Fakhr Ar-Razy dalam kitab Tafsr Al-Kabir
b)       Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin dan Jawahir Al-Qur`an
c)       Imam As-Suyuthi dalam tafsir Ilmi

5)       Tafsir Adabi-Ijtimai (Bahasa)
Dalam tafsir ini berupaya menyingkap keindahan bahasa Al-Qur`an dan mukjizat-mukjizatnya, menjelaskan makna dan maksudnya, memperlihatkan aturan Al-Qur`an tentang kemasyarakatan dan mengatasi persoalan yang yang dihadapi umat lainnya secara umum. Karya-karya tafsir adabi-ijtimai diantaranya adalah :
a)       Tafsir al-manar, karya Rasyid Ridha (w.1354)
b)       Tafsir al-maraghi, karya Al-Maraghi (w.1945)
c)       Tafsir Al-Qur`an Al-Karim, karya Syaikh Syaltut

Ilmu Bantu Tafsir
1)       Ilmu bahasa,
2)       Ilmu nahwu (tata bahasa),
3)       Ilmu sharaf (kojugasi),
4)       Ilmu istiqaq (derivasi kata, etimologi)
5)       Ilmu ma`ani (retorika)
6)       Ilmu bayan (kejelasan berbicara)
7)       Ilmu badi` (efektifitas berbicara)
8)       Ilmu qir`at
9)       Ilmu ushuluddin (dasar-dasar agama Islam)
10)   Ilmu ushul fiqih
11)   Ilmu nasikh mansukh
12)   Ilmu fiqih
13)   Ilmu hadits
14)   Ilmu asbab an-nuzul
15)   Ilmu mauhibbah (ilmu yang dianugerahkan Allah khusus untuk siapa saja yang mengamalkan apa yang diketahui)


Berdasarkan sumbernya, tafsir dibedakan jadi dua, yaitu:
1)       Tafsir bi Al Matsur (bil ar riwayah atau an-naql), adalah penafsiran al-qur`an yang mendasarkan pada penjelasan Al-Qur`an sendiri, penjelasan nabi, sahabat, melalui ijtihad dan pendapat (aqwal) tabi`in. dalam pengertian tersebut ada empat otoritas dalam tafsir al ma`tsur yaitu :
a)       Al-Qur`an yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap Al-Qur`an sendiri, seperti penafsiran kata muttaqin pada Q.S. Al-Imran: 133. Dengan menggunakan ayat berikutnya sebagai penafsir.
b)       Otoritas hadits Nabi, seperti kata azh-zhulm pada Q.S. Al-An`am:6
c)       Otoritas penejlasan sahabat, seperti Ibn Abbas terhadap kandungan Q.S. An-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi.
d)       Otoritas penjelasan Tabi`in, seperti penjelasan Q.S. Ash-Shafaat: 65 dengan sya`ir Imr Al-Qays.

Dalam segi otoritas riwayah ini, sebagian ulama mufassir seperti Ibn Syaibah dan Ibn Aqil masih memperdebatkan riwayah tabi`in, karena tabi`in tidak mengetahui secara langsung turunnya ayat. Berbeda dengan Ikrima dan Ad-Dahhak bin Al-Muzahim yang menerima langsung otoritas mereka. Dalam pertentangan ini, Quraish Shihab memberikan pandangan bahwa penafsiran nabi dan sahabat dibagi menjadi dua yaitu La Maja li al Aql fihi (Masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti masalah metafisika, dan Fi majal al-Aql (dalam wilayah nalar) seperti masalah kemasyarakatan.[18]

Kelebihan tafsir al-ma`tsur diantaranya :
a)       Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur`an,
b)       Memaprakan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya,
c)       Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya agar tidak terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.
Kelemahan tafsir Al-Ma`tsur diantaranya :
a)       Terjadi pemalsuan dalam tafsir,
b)       Masuknya unsur Israilliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur yahudi dan nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur`an,
c)       Penghilangan sanad,
d)       Terjerumusnya seorang mufassir ke dalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok AL-Qur`an kabur,
e)       Seringkali konteks asbab an-nuzul dipahami dari uraian nasikh mansukh, sehingga dianggap ayat tersebut turun di tengah masyarakat yang hampa budaya.

Diantara kitab tafsir al-ma`tsur diantaranya :Tafsir Al-Qur`an Al-Azhim karya Ibn Katsir, Jami Al-Bayan fi tafsir Al-Qur`an karya Ibn Jaris Ath-Thabari.


2)       Tafsir bi ra`yi,
Tafsir bi ra`yi muncul sebagai sebuah corak penafsiran belakangan setelah muncul tafsir al ma`tsur walaupun sebelumnya ra`yi dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan Al-Qur`an. Apalagi sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad. Diantara penyebab yang memicu kemunculan corak tafsir ra`yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran dan pakar dibidangnya masing-masing,

Seperti yang telah dijelaskan di awal pengertian tafsir ra`yi menurut Al-Farmawi dimaksudkan menafsirkan Al-Qur`an dengan ijtihad setelah mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosakata arab beserta muatan artinya.[19]
 
Kemunculan tafsir bi ra`yi juga dilatarbelakngi oleh hasil interaksi umat Islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal, oleh karenanya dalam tafsir bi ra`yi banyak dilakukan menggunakan akal yang paling dominan. Dengan latar belakang inilah banyak diantara para mufassir mempersoalkannya, diantaranya :

a)       Golongan yang menolak, banyak ulama yang menolak dikarenakan berbagai alasan diantaranya:
(1)     Menafsirkan Al-Qur`an berdasarkan ra`yi berarti berbicara firman Allah tanpa pengetahuan,
(2)     Yang berhak menjelaskan Al-Qur`an adalah nabi, ini terlihat dalam Q.S. An-Nahl : 44,
(3)     Dalam menafsirkan Al-Qur`an tidak sembarangan orang, harus yang betul-betul paham
b)       Golongan yang mengizinkan, mengemukakan pendapatnya itu yakni :
(1)     Di dalam Al-Qur`an banyak ayat yang menyeru untuk memahami kandungan Al-Qur`an,
(2)     Seandainya tafsir bi ra`yi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan,
(3)     Para sahabat sering berselisih pendapat, ini bukti bahwa mereka menggunakan ra`yi

Di dalam tafsir bi ra`yi juga, digolongkan tafsir yang dapat diterima dan ditolak. Tafsir bi ra`yi dapat diterima apabila selama mampu menghindarkan dari hal-hal :

a)  Memaksakan diri untuk mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat,
b)  Mencoba menafsirkan ayat yang maknanya hanya diketahui Allah,
c) Menafsirkan Al-Qur`an dengan disertai bahwa nafsu dan sikap istihsan (menilai sesuatu baik berdasarkan persepsinya),
d)  Menafsirkan ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham mazhab sebagai dasar,
e)  Menafsirkan Al-Qur`an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian…tanpa dalil.

Diantara contoh tafsir ra`yi yang tidak diterima adalah sebagai berikut :

a)  Penafsiran golongan syiah terhadap kata Al-Baqarah (Q.S. Al-Baqarah :67) dengan Aisyah r.a.
b)  Penafsiran Q.S. Al-Baqarah : 74 tentang anggapan adanya batu yang berfikir, berbicara dan jatuh karena takut kepada Allah.

Diantara kitab-kitab tafsir bi ra`yi diantaranya adalah : Mafatih Al-Ghalib karya Fakhr Ar-Razy, Lubab At-Takwil fi Ma`ani At-Takwil karya AlKhazim.

Sedangkan berdasarkan metodenya, menurut Quraish Shihab tafsir dibedakan menjadi 4 macam, diantaranya: 
1)       Tafsir Ijmali (Global)
Tafsir ijmali merupakan metode tafsir bagian dari tafsir al ma`tsur (berdasarkan riwayah). Metode tafsir ini mencoba menafsirkan Al-Qur’an dengan cara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.  Sistimatika  penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an.[20]

Kelebihan dan kelemahan

Kelebihan metode ijmali di antaranya, adalah:

a) Praktis dan mudah dipahami,
b) Bebas  dari penafsiran israiliyat,
c) Akrab dengan bahasa al-Qur’an.

Sedangkan kelemhannya antara  lain:

a)  Menjadikan  petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial, al-Qur’an merupakan  satu-kesatuan  yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan  kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.[21] 

b) Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai, Tafsir yang memakai metode ijmali tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian dan pembahasan yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Oleh karenanya, jika menginginkan adanya analisis  yang rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan  metode ini. Namun tidak berarti kelemahan tersebut bersifat negatif, kondisi demikian amat posetif sebagai ciri dari tafsir yang menggunakan metode global.[22]

Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir Al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad  Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir al- Muyasasar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, dan sebagainya.

2)       Tafsir Tahlili (Analisis)
Yang dimaksud dengan metode analisis ialah menafsirkan  ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat- ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan  makna-makna  yang tercakup di dalamnya  sesuai dengan  keahlian  dan kecenderungan  mufassir  yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Jadi, ”pendekatan analitis” yaitu mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun  di dalam al-Qur’an.  Maka, tafsir yang memakai  pendekatan  ini mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit,  dengan  menggunakan  alat-alat  penafsiran  yang ia yakini efektif [seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang dikaji], sebatas kemampuannya di dalam membantu menerangkan makna  bagian  yang sedang  ditafsirkan,  sambil  memperhatikan  konteks naskah tersebut.
Metode  tahlili,  adalah  metode  yang berusaha  untuk  menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan  urutan-urutan ayat atau surah dalam mushaf,  dengan  menonjolkan  kandungan  lafadz- lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan  dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.

Kelebihan dan kelemahan [23]
Kelebihan metode ini antara lain:
a.       Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada  pada pembaca  bila dibandingkan  dengan metode-metode lain.
b.       Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif.
c.       Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat,
d.       Mendorong  untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat para mufassir yang lain.
Adapun kelemahannya adalah :
a.       Penafsiran  dengan  memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir, karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang- kadang ekstrim,
b.       Metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat,  karena metode ini lebih mengutamakan  perbandingan  dari pada pemecahan masalah,
c.       Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri  penafsiran-penafsiran yang pernah  dilakukan  oleh para ulama daripada  mengemukakan  penafsiran- penafsiran baru.

3)       Tafsir Maudhu`I (Tematik)
Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun,  kemudian dikaji secara mendalam  dan tuntas  dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.[24] Misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al- Qur’an terhadap ekonomi, dan sebagainya.
M.Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode meudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya  secara umum dan yang merupakan tema ragam  dalam surat tersebut  antara  satu dengan  lainnya  dan juga dengan  tema  tersebut,  sehingga  satu surat  tersebut  dengan  berbagai masalahnya  merupakan  satu kesatuan  yang tidak terpisahkan.  Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.[25]
Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan  bahwa, dalam perkembangan  metode maudhu’i ada dua bentuk  penyajian  pertama  menyajikan  kotak berisi pesan-pesan  al- Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya  kandungan  pesan tersebut  diisyaratkan  oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja.[26]
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya  sesuai dengan kapasitas  atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman  ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al- mahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.[27]

Kelebihan dan kekurangan
Kelebihan  metode  ini antara  lain :
a.       Menjawab  tantangan  zaman,
b.       Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode
c.       Metode tematik membuat tafsir al- Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman,
d.       Membuat pemahaman menjadi utuh.
Adapun kelemahannya adalah :
a.    Memenggal  ayat al-Qur’an,
b.    Membatasi pemahaman ayat. 

Selain keempat metode diatas, menurut Abdullah ibn Abbas seorang sahabat Rasulullah mengungkapkan bahwa dalam memahami Al-Qur`an pengkajian tafsir dapat dikalsifikasikan menjadi empat wilayah yaitu : [28]

1)  Tafsir yang menjelaskan halal dan haram yang wajib dibaca oleh semua orang,
2)  Tafsir yang dijelaskan oleh orang-orang Arab,
3)  Tafsir yang diinterpretasikan oleh para ulama,
4)  Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah semata terutama ayat-ayat mutasyabihat.

Sedangkan menurut At-Thabari lebih jelas mengungkapkan bahwa sedikitnya ada tiga materi kajian Al-Qur`an yang dapat diidentifikasi mufassir dalam menafsirkan Al-Qur`an, yaitu :

1)  Ayat-ayat yang hanya dapat ditafsirkan oleh Nabi SAW. Hal ini disandarkan pada Q.S. An-Nahl : 44,
2)   Ayat-ayat yang hanya diketahui oleh Allah semata, misalnya ayat yang berbicara tentang turunnya Isa bin Maryam,
3)   Ayat-ayat yang bisa ditafsirkan oleh setiap orang yang memiliki pengetahuan tentang bahasa Al-Qur`an yang meliputi pemahaman memahami infleksional, pengertian kata yang tidak homonim, dan pemahaman karakteristik kata sifat deskriptif.

Taufik Adnan Amal menilai bahwa sumbangan At-Thabari di atas merupakan evolusi teori hermeneutika Al-Qur`an, karena pengetahuan tentang materi kajian Al-Qur`an merupakan etape awal yang krusial dalam metode tafsir.[29] Maka dari gagasan inilah metode tafsir baru muncul seperti metode tafsir hermeunetika atau metode kontekstual.

PENUTUP
Literatur perkembangan tafsir telah dimulai pada masa Nabi dan para sahabat. Rasulullah beserta para sahabatnya telah mentardisikan, menguraikan dan menafsirkan Al-Qur`an sesaat setelah turunnya ayat tersebut. Tradisi itu terus berlangsung sampai wafatnya Rasulullah.

Dalam melakukan penafsiran  terhadap ayat-ayat  Al-Qur’an  pada saat itu dikenal dengan tafsir bil al-matsur sebagai tafsir yang bersumberkan dari Nabi, Sahabat, Tabiin, Tabi`it tabi`in sampai diturunkannya ke setiap generasi melalui periwayatan dan berlangsung sampai periode awal pengkodifikasian hadits, yang pada saat itu tafsir merupakan salah satu bagian kitab hadits itu. Penafsiran Al-Qur`an model seperti ini cenderung mengungkap fakta-fakta sejarah, seiring perkembangan keilmuan dan gesekan kebudayaan terlahir pula tafsir bi ra`yi yang cenderung mengedepankan akal sebagai ukurannya.

Selain sumber-sumber yang dijadikan bahan penafsiran juga tidak dapat dilepaskan bagi seorang mufassirin tidak dapat dilepaskan dari corak pemikirannya atau bahkan kepribadiannya yang menjadi latar belakang dalam memaknai, menguraikan dan menafsirkan suatu ayat dalam Al-Qur`an, seperti halnya corak dari tafsir sufistik, tafsir fiqih, tafsir falsafi, tafsir ilmi, tafsir adabi ijtima`i. Sehingga mampu melahirkan berbagai tafsir-tafsir yang beraneka ragam.

Diantara pengklasifikasian metode tafsir yang telah diuraikan, maka dapat ditarik suatu ikhtisar bahwa metode tafsir terbagi menjadi empat baik dalam bil ma`tsur maupun  bi ra`yi, sekalipun dalam perkembangan ilmu tafsir kontemporer telah dikenal dengan metode hermeneutika sebagai metode penafsiran modern. Diantara metode tafsir itu ialah :
1)       Tafsir Ijmali (Global)
2)       Tafsir Tahlili (Analisis)
3)       Tafsir Muqaran (Perbadingan)
4)       Tafsir Maudhu`I (Tematik)

BIBLIOGRAPHY

Syukri Saleh, Ahmad. 2007. Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman.
            Gaung Persada Press. Jakarta
Anwar Rosihon. 2008. Ilmu Tafsir. Pustaka Setia. Bandung
Amal, Taufik Adnan. 2001. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur`an. Penyusun Rizal Panggabean. Forum Kajian
            Agama dan Budaya. Yogyakarta
Palmer, E.Richard. 2005. Hermeuneutika; Teori Baru Mengenal Interpretasi. Terj. Musnur Hery. Pustaka
            Pelajar. Yogyakarta
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur`an. Mizan. Bandung
------------------------, 1997. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhui`y atas Perbagai Persoalan Umat. Mizan.
Bandung
Baidan, Nashruddin. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur`an. Pustaka Pelajar. Jakarta
Jurnal Almawarid edisi XVIII tahun 2008 ditulis oleh Hujair As-Sanaky dengan judul metode tafsir


________________________________________
[1] Disampaikan pada saat presentasi kelas pada mata kuliah Ilmu Tafsir di Prodi Religious Studies PPS UIN SGD Bandung, Dosen pengampu Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag
[2] Q.S. Al-Israa` : 9
[3] M. Quraish Shihab. 1992. Membumikan  Al-Qur’an. (Bandung: Mizan). hlm. 72.
[4] Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Alqur`an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman. (Jakarta; Gaung Persada Press, 2007). Hlm. 41
[5] Ibid.
[6] Rosihon Anwar. Ilmu Tafsir. (Bandung; Pustaka Setia, 2008), hlm. 141
[7] Ibid., Ahmad Syukri Saleh,, Metodologi Tafsir …hlm. 42
[8] Ibid., Rosihon Anwar, Ilmu …, hlm. 142
[9] Ibid., hlm. 165
[10] Pada saat itu, tafsir belum dikodifikasikan secara khusus surat persurat dan ayat per ayat dari awal hingga akhir mushaf, akan tetapi yang terjadi adalah ada sebagian ulama yang melakukan pengumpulan hadits bersamaan pula dengan dikumpulkannya riwayat-riwayat tentang tafisr yang dinisbatkan kepda Nabi, atau sahabat, atau tabi`in. Lihat Ibid. Rosihon Anwar, Illmu … hlm. 165
[11] Ibid.
[12] Dalam tafsir ijmali pada umumnya sukar menemukan uraian yang detail, karena itu tidak keliru apabila dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir Al-Qur’an yang pertama kali muncul dalam kajian tafsir Qur’an. Lihat Jurnal Almawarid edisi XVIII tahun 2008 ditulis oleh Hujair As-Sanaky dengan judul metode tafsir, hlm. 268
[13] Secara etimologi Ra`yi berarti keyakinan (i`tiqad), analogi (qiyas), dan ijtihad. Sedangkan dalam terminologi tafsir adalah ijtihad, tafsir bi ra`yi merupakan tafsir dirayah, sebagaimana Adz-Dzahabi mendefinisikan bahwa tafsir bi ra`yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad ijtihad dan pemikiran mufassir setelah menguasai bahasa arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab an-nuzul dan nasikh mansukh. Lihat ibid. Rosihon Anwar. Ilmu Tafsir, hlm. 151
[14] Corak sastra bahasa, timbul akibat banyaknya orang-orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri  di bidang  sastra,  sehingga  dirasakan  kebutuhan  untuk menjelaskan  kepada mereka tentang keinstimewaan  dan kedalaman arti kandungan al-Qur’an. Corak filsafat dan teologi,  akibatnya  penerjemahan  kitab filsafat yang mempengaruhi sementara  pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan  pendapat  setuju atau tidak setuju yang tercermin  dalam penafsiran  mereka. Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami  ayat-ayat  Al-Qur’an  sejalan  dengan  perkembangan ilmu. Corak  fiqih atau hukum,  akibat  berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiaran- penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan- gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Namun semenjak munculnya pemikir paembaharuan pada masa Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Lihat Ibid. Quraish Shihab. Membumikan … hlm. 72-73.
[15] Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran Al-Qur`an.(Jakarta; Pustaka Pelajar, 1998) . hlm. 6
[16] Perkembangan pemikiran  Islam; berbagai  peradaban  dan kebudayaan  non-Islam masuk  ke dalam  khasanah  intelektual  Islam. Akibatnya  kehidupan  ummat  Islam menjadi terpengaruh  oleh berbagai khasanah peradaban dan kebudayaan  itu.
[17] Ibid., Rosihon Anwar, Ilmu …, hlm. 166
[18] Ibid., Rosihon Anwar. Ilmu…, hlm. 145
[19] Ibid., hlm. 151
[20] Ibid., Nashruddin, Baidan. Metodologi Penafsiran…, Hlm. 13
[21] Sebagai contoh perhatikan  firman Allah  dalam  q.s. Ar-Ra`du ayat 11
[22] Ibid., Hlm. 22-27
[23] Ibid., Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran,  Hlm. 143-144
[24] Ibid., Hlm. 155
[25] Ibid., M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, Hlm. 74
[26] M. Quraish Shihab. 1997. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhui`y atas Perbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. hlm. xiii.
[27] Ibid., Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran,  Hlm. 152
[28] Ibid., Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir … Hlm. 44
[29] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur`an. (Yogyakarta; Forum kajian budaya dan agama, 2001), hlm. 356

Saturday 28 December 2013

Sekelumit Tentang Tafsir Al Qur'an


Sekelumit Tentang Tafsir Al Qur'an

Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur-an dan isinya, Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an, terdapat dua bentuk penafsiran yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.

Tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
•    Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.


Urgensi Tafsir Al-Qur'an dalam Islam

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur'an.

Sejarah Tafsir Al-Qur'an

Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an :
1.    Al-Qur'an itu sendiri karena kadang-kadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
2.    Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
3.    Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.

Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah , Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.

Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-Di’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi al-Matsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.

Bentuk Tafsir Al-Qur'an

Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:

Tafsir bi al-Matsur

Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi'in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat. Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al Qur'an antara lain:
"wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal fajri...." (Surat Al Baqarah:187)
Kata minal fajri adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.
Contoh Tafsir Al Qur'an dengan Sunnah antara lain:
"alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin......" (Surat Al An'am: 82)
Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat :
"innasy syirka lazhulmun 'azhiim" (Surat Luqman: 13)

Dengan itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik.
Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja'far An Nahhas).

Tafsir bi ar-Rayi

Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2)
Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.
Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.

Tafsir Isyari

Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
'“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....” (Surat Al Baqarah: 67)
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.

Metodologi Tafsir Al-Qur'an

Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlu’i.

Metode Tahlili (Analitik)

Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat al-Qur`an sebagaimana tercantum dalam al-Qur`an.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .

Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.

Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.

Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

Metode Muqarin

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

Metode Maudhu’i (Tematik)

Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Macam Tafsir Al-Qur'an

Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:

“    Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat.    ”

Di antara berbagai corak itu antara lain adalah :

•    Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang ini.

•    Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang memengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
•    Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
•    Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
•    Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.
•    Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar.

Perkembangan

Ilmu tafsir Al Qur'an terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur'an dapat bermakna bagi umat Islam. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur'an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur'an. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika.

Tafsir terkenal antara lain

•    'Abdullah bin Abbas, dilahirkan di Syi’bi tiga tahun sebelum hijrah, ada yang mengatakan lima tahun sebelum hijrah, dan wafat di kota Thoif pada tahun 65 H, dan ada yang mengatakan tahun 67 H, dan ‘Ulama’ Jumhur mengatakan wafat pada tahun 68 H., banyak melahirkan beberapa tafsir yang tidak terhitung jumlahnya, dan tafsiran beliau dikumpulkan dalam sebuah kitab yang diberi nama Tafsir ibnu Abbas. Di dalam kitab ini terdapat beberapa riwayat dan metode yang berbeda-beda, namun yang paling bagus adalah tafsir yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah Al Hasyimi.
•    Mujahid bin Jabr, dilahirkan pada tahun 21 H, pada masa ke pemimpinan Umar bin Khattob, dan wafat pada tahun 102/103 H. sedangkan menurut Yahya bin Qhatton, beliau wafat pada tahun 104 H., termasuk tokoh tafsir pada masa tabi’in sehingga beliau dikatakan tokoh paling ‘alim dalam bidang tafsir pada masa tabi’in, dan pernah belajar tafsir kepada Ibnu Abbas sebanyak 30 kali.
•    Atthobari, bernama lengkap Muhammad bin Jarir, di lahirkan di Baghdad pada tahun 224 H, dan wafat pada tahun 310 H. karangan-karangannya adalah Jami’ul Bayan Fi Tafsiril Qur’an, Tarikhul Umam Al muluk dan masih banyak lagi yang belum disebutkan.
•    Ibnu Katsir, bernama lengkap Isma’il bin Umar Al Qorsyi ibnu Katsir Al Bashri. Di lahirkan pada tahun 705 H. dan wafat pada tahun 774 H. termasuk ahli dalam bidang fiqih, hadist, sejarah, dan tafsir, karangan-karangannya adalah Al Bidayah Wan Nihayah Fi Tarikhi, Al Ijtihad Fi Tholabil jihad, Tafsirul Qur’an, dan lain-lainnya.
•    Fakhruddin Ar Rozi, bernama lengkap Muhammad bin Umar bin Al Hasan Attamimi Al Bakri Atthobaristani Ar Rozi Fakhruddin yang terkenal dengan sebutan Ibnul Khotib As Syafi’i, lahir di Royyi pada tahun 543 H. dan wafat pada tahun 606 H. di harrot, mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pasti, dan juga mendalami ilmu filsafat dan mantiq, karangannya adalah mafatihul Ghoib fi Tafsirul Qur’an, Al Muhasshol fi Ushulil Fiqh, Ta’jizul Falasifah dan lain-lainya.

Referensi 
1.    as-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Dâr al-Fikr.
2.      azzarqoni , manahiliul irfan fi ulumul quran, darul kitab.

Friday 27 December 2013

Kajian Ilmu Hadits


Kajian Ilmu Hadits

dalam kajian ilmu hadits ada beberapa istilah;

HADITS ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya.

ATSAR ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW.

TAQRIR ialah keadaan Nabi Muhammad SAW yang mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.

SAHABAT ialah orang yang bertemu Rosulullah SAW dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman dan mati dalam keadaan islam.

TABI'IN ialah orang yang menjumpai sahabat, baik perjumpaan itu lama atau sebentar, dan dalam keadaan beriman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.

MATAN ialah lafadz hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, atau disebut juga isi hadits.


Unsur-Unsur Yang Harus Ada Dalam Menerima Hadits

Rawi, yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang atau gurunya. Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan merawi atau meriwayatkan hadits dan orangnya disebut perawi hadits.


Sistem Penyusun Hadits Dalam Menyebutkan Nama Rawi
1.    As Sab'ah berarti diriwayatkan oleh tujuh perawi, yaitu :
1. Ahmad
2. Bukhari
3. Turmudzi
4. Nasa'i
5. Muslim
6. Abu Dawud
7. Ibnu Majah
2.    As Sittah berarti diriwayatkan oleh enam perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad
3.    Al Khomsah berarti diriwayatkan oleh lima perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Bukhari dan Muslim
4.    Al Arba'ah berarti diriwayatkan oleh empat perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'a) selain Ahmad, Bukhari dan Muslim.
5.    Ats Tsalasah berarti diriwayatkan oleh tiga perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah.
6.    Asy Syaikhon berarti diriwayatkan oleh dua orang perawi yaitu : Bukhari dan Muslim
7.    Al Jama'ah berarti diriwayatkan oleh para perawi yang banyak sekali jumlahnya (lebih dari tujuh perawi / As Sab'ah).
Matnu'l Hadits adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang berakhir pada sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sahabat ataupun tabi'in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .

Sanad atau Thariq adalah jalan yang dapat menghubungkan matnu'l hadits kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .

Gambaran Sanad

Untuk memahami pengertian sanad, dapat digambarkan sebagai berikut: Sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam  didengar oleh sahabat (seorang atau lebih). Sahabat ini (seorang atau lebih) menyampaikan kepada tabi'in (seorang atau lebih), kemudian tabi'in menyampaikan pula kepada orang-orang dibawah generasi mereka. Demikian seterusnya hingga dicatat oleh imam-imam ahli hadits seperti Muslim, Bukhari, Abu Dawud, dll.

Contoh:
Waktu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Bukhari berkata hadits ini diucapkan kepada saya oleh A, dan A berkata diucapkan kepada saya oleh B, dan B berkata diucapkan kepada saya oleh C, dan C berkata diucapkan kepada saya oleh D, dan D berkata diucapkan kepada saya oleh Nabi Muhammad.

Awal Sanad dan akhir Sanad

Menurut istilah ahli hadits, sanad itu ada permulaannya (awal) dan ada kesudahannya (akhir). Seperti contoh diatas yang disebut awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah D.

Klasifikasi Hadits

Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar hukum) adalah:
1.    Hadits Shohih, adalah hadits yang  diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits.
2.    Hadits Makbul adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan.
3.    Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
4.    Hadits Dhoif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.

Syarat-syarat Hadits Shohih

Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
•    Rawinya bersifat Adil
•    Sempurna ingatan
•    Sanadnya tidak terputus
•    Hadits itu tidak berillat dan
•    Hadits itu tidak janggal
Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil, yaitu :
•    Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
•    Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
•    Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
•    Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara'.
 
Klasifikasi Hadits Dhoif berdasarkan kecacatan perawinya
•    Hadits Maudhu': adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu disengaja maupun tidak.
•    Hadits Matruk: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
•    Hadits Munkar: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits lemah yang berlawanan, misal yang satu lemah sanadnya, sedang yang satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang lemah sanadnya dinamakan hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
•    Hadits Mu'allal (Ma'lul, Mu'all): adalah hadits yang tampaknya baik, namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
•    Hadits Mudraj (saduran): adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
•    Hadits Maqlub: adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
•    Hadits Mudltharrib: adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
•    Hadits Muharraf: adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
•    Hadits Mushahhaf: adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
•    Hadits Mubham: adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.
•    Hadits Syadz (kejanggalan): adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan.
•    Hadits Mukhtalith: adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan gugurnya rawi
•    Hadits Muallaq: adalah hadits yang gugur (inqitha') rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
•    Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'in.
•    Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
•    Hadits Munqathi': adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
•    Hadits Mu'dlal: adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi'in, tabi'in bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi'in.
Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan sifat matannya
•    Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus.
•    Hadits Maqthu': adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'in serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak.

Apakah Boleh Berhujjah dengan hadits Dhoif ?
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhoif yang maudhu' tanpa menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun kalau hadits dhoif itu bukan hadits maudhu' maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Berikut ini pendapat yang ada yaitu:
Pendapat Pertama Melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dhoif, baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnul 'Araby.

Pendapat Kedua Membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla'ilul a'mal  dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah).
Para imam seperti Ahmad bin hambal, Abdullah bin al Mubarak berkata: "Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa kami permudah dan kami perlunak rawi-rawinya."

Karena itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif untuk fadla'ilul amal. Ia memberikan 3 syarat dalam hal meriwayatkan hadits dhoif, yaitu:
1.    Hadits dhoif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhoif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal.
2.    Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut, masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan)
3.    Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.

Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi :

[1] Hadits Mutawatir: adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.

Syarat syarat hadits mutawatir
1.    Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar benar hasil pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.
2.    Jumlah rawi-rawinya harus mencapai satu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong/dusta.
3.    Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Kalau suatu hadits diriwayatkan oleh 5 sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 tabi'in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.
[2] Hadits Ahad: adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits mutawatir.

Klasifikasi hadits Ahad
1.    Hadits Masyhur: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.
2.    Hadits Aziz: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun 2 orang rawi tersebut pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
3.    Hadits Gharib: adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.

Hadits Qudsi atau Hadits Rabbani atau Hadits Ilahi

Adalah sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada nabiNya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.

Perbedaan Hadits Qudsi dengan hadits Nabawi

Pada hadits qudsi biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat :
•    Qala ( yaqalu ) Allahu
•    Fima yarwihi 'anillahi Tabaraka wa Ta'ala
•    Lafadz lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas.
Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur'an:
•    Semua lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang hadits qudsi tidak demikian.
•    Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur'an, tidak berlaku pada hadits qudsi. Seperti larangan menyentuh, membaca pada orang yang berhadats, dll.
•    Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur'an memberikan hak pahala kepada pembacanya.
•    Meriwayatkan Al-Qur'an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafadz sinonimnya, sedang hadits qudsi tidak demikian.

Bid'ah

Yang dimaksud dengan bid'ah ialah sesuatu bentuk ibadah yang dikategorikan dalam menyembah Allah yang Allah sendiri tidak memerintahkannya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam  tidak menyontohkannya, serta para sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam  tidak menyontohkannya.

Kewajiban sebagai seorang muslim adalah mengingatkan amar ma'ruf nahi munkar kepada saudara-saudara seiman yang masih sering mengamalkan amalan-amalan ataupun cara-cara bid'ah.

Alloh berfirman, dalam QS Al-Maidah ayat 3, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu." Jadi tidak ada satu halpun yang luput dari penyampaian risalah oleh Nabi. Sehingga jika terdapat hal-hal baru yang berhubungan dengan ibadah, maka itu adalah bid'ah.

"Kulu bid'ah dholalah..." semua bid'ah adalah sesat (dalam masalah ibadah). "Wa dholalatin fin Naar..." dan setiap kesesatan itu adanya dalam neraka.

Beberapa hal seperti speaker, naik pesawat, naik mobil, pakai pasta gigi, tidak dapat dikategorikan sebagai bid'ah. Semua hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk ibadah yang menyembah Allah. Ada tata cara dalam beribadah yang wajib dipenuhi, misalnya dalam hal sembahyang ada ruku, sujud, pembacaan al-Fatihah, tahiyat, dst. Ini semua adalah wajib dan siapa pun yang menciptakan cara baru dalam sembahyang, maka itu adalah bid'ah. Ada tata cara dalam ibadah yang dapat kita ambil hikmahnya. Seperti pada zaman Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggunakan siwak, maka sekarang menggunakan sikat gigi dan pasta gigi, terkecuali beberapa muslim di Arab, India, dst.

Menemukan hal baru dalam ilmu pengetahuan bukanlah bid'ah, bahkan dapat menjadi ladang amal bagi umat muslim. Banyak muncul hadits-hadits yang bermuara (matannya) kepada hal bid'ah. Dan ini sangat sulit sekali untuk diingatkan kepada para pengamal bid'ah.

Apakah yang menyebabkan timbulnya Hadits-Hadits Palsu?
Didalam Kitab Khulaashah Ilmil Hadits dijelaskan bahwa kabar yang datang pada Hadits ada tiga macam:
1.    Yang wajib dibenarkan (diterima).
2.    Yang wajib ditolak (didustakan, tidak boleh diterima) yaitu Hadits yang diadakan orang mengatasnamakan Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
3.    Yang wajib ditangguhkan (tidak boleh diamalkan) dulu sampai jelas penelitian tentang kebenarannya, karena ada dua kemungkinan. Boleh jadi itu adalah ucapan Nabi dan boleh jadi pula itu bukan ucapan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (dipalsukan atas nama Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).
Untuk mengetahui apakah Hadits itu palsu atau tidak, ada beberapa cara, diantaranya:
1.    Atas pengakuan orang yang memalsukannya. Misalnya Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam Kitab Taarikhut Ausath dari 'Umar bin Shub-bin bin 'Imran At-Tamiimy sesungguhnya dia pernah berkata, artinya: Aku pernah palsukan khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maisaroh bin Abdir Rabbik Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia sendiri telah memalsukan Hadits hadits yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an (Keutamaan Al-Qur'an) lebih dari 70 hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh ahli-ahli Bid'ah. Menurut pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia pernah memalsukan dari Ibnu Abbas beberapa Hadits yang hubungannya dengan Fadhilah Qur'an satu Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits).
2.    Dengan memperhatikan dan mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang dapat menunjukkan bahwa Hadits itu adalah Palsu. Misalnya dengan melihat dan memperhatikan keadaan dan sifat perawi yang meriwayatkan Hadits itu.
3.    Terdapat ketidaksesuaian makna dari matan (isi cerita) hadits tersebut dengan Al-Qur'an. Hadits tidak pernah bertentangan dengan apa yang ada dalam ayat-ayat Qur'an.
4.    Terdapat kekacauan atau terasa berat didalam susunannya, baik lafadznya ataupun ditinjau dari susunan bahasa dan Nahwunya (grammarnya).

Sebab-sebab terjadi atas timbulnya Hadits-hadits Palsu
•    Adanya kesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran Islam. Misalnya dari kaum Orientalis Barat yang sengaja mempelajari Islam untuk tujuan menghancurkan Islam (seperti Snouck Hurgronje).
•    Untuk menguatkan pendirian atau madzhab suatu golongan tertentu. Umumnya dari golongan Syi'ah, golongan Tareqat, golongan Sufi, para Ahli Bid'ah, orang-orang Zindiq, orang yang menamakan diri mereka Zuhud, golongan Karaamiyah, para Ahli Cerita, dan lain-lain. Semua yang tersebut ini membolehkan untuk meriwayatkan atau mengadakan Hadits-hadits Palsu yang ada hubungannya dengan semua amalan-amalan yang mereka kerjakan. Yang disebut 'Targhiib' atau sebagai suatu ancaman yang yang terkenal dengan nama 'At-Tarhiib'.
•    Untuk mendekatkan diri kepada Sultan, Raja, Penguasa, Presiden, dan lain-lainnya dengan tujuan mencari kedudukan.
•    Untuk mencari penghidupan dunia (menjadi mata pencaharian dengan menjual hadits-hadits Palsu).
•    Untuk menarik perhatian orang sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ahli dongeng dan tukang cerita, juru khutbah, dan lain-lainnya.

Hukum meriwayatkan Hadits-hadits Palsu
•    Secara Muthlaq, meriwayatkan hadits-hadits palsu itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu.
•    Bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau mebacakannya) maka tidak ada dosa atasnya.
•    Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah hadits palsu, maka hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan sedang dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali, maka hukumnya tidak boleh (berdosa - dari Kitab Minhatul Mughiits).

(Sumber Rujukan: Kitab Hadits Dhaif dan Maudhlu - Muhammad Nashruddin Al-Albany;  Kitab Hadits Maudhlu -  Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah; Kitab Mengenal Hadits Maudhlu - Muhammad bin Ali Asy-Syaukaaniy; Kitab Kalimat-kalimat Thoyiib - Ibnu Taimiyah (tahqiq oleh Muhammad Nashruddin Al-Albany);  Kitab Mushtholahul Hadits -  A. Hassan)