RSS
Facebook
Twitter

Showing posts with label petuah. Show all posts
Showing posts with label petuah. Show all posts

Sunday, 16 February 2014

Ayah


Ayah , …aku hanya bisa mungucapkan trima kasih

Tak ada kata yang pantas terucap untukmu ayah. Mungkin engkau bukan orang terdekat. Mungkin engkau juga bukan yang selalu berada disampingku, saat aku bahagia, kecewa bahkan saat aku bersedih hingga meneteskan air mata.

Saat anak-anak pergi sekolah dengan ayahnya yang juga pergi bekerja, kita tidak pernah melakukanya karena kau
 yang harus berangkat lebih dulu saat matahari belum menampakan cahayanya.

Saat anak-anak menunggu kepulangan ayahnya untuk bermain bersama, tidak dengan aku yang selalu terlelap saat menunggu kepulanganmu yang begitu larut. Andai dapat ku beli waktu kerjamu kala itu, aku rela membayarnya dengan uang jajanku untuk bisa bermain bersamamu.

Kita mungkin bukan pasangan yang baik. Kau sibuk dengan urusanmu, sedangkan aku bermain dengan semua khayalanku.

Saat aku mulai tumbuh besar, kita mulai punya waktu untuk bersama. Tapi bukan untuk bermain melainkan melakukan pekerjaan yang tidak aku inginkan. Seolah kau menindasku, aku jadi tidak suka denganmu. Aku membenci semua tentangmu. Kau marahi aku jika melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan maumu. Kau buat aku merasa lemah dengan ucapan-ucapan kasarmu. Ingin rasanya kau segera tiada dari duniaku, mengakhiri semua penderitaan dalam kehidupanku.

Pernah sekali aku menyalahkanmu atas apa yang terjadi dalam hidupku. Kusadari kau menangis saat ku terbangun sejenak dari tidur lelapku. Lama setelah itu, kupandangi wajahmu saat tertidur lelap, terbayang kerja keras yang kau lakukan untuk membesarkanku. Terbayang letih yang tersimpan dalam dirimu atas kerja keras yang kau lakukan untuk memenuhi kebutuhanku. Seakan tak tahu apa jadinya diri ini jika tanpa kehadiranmu. Tak ingin rasanya kehilanganmu dari sisiku.

Kini aku telah dewasa. Tumbuh menjadi seorang pemuda mandiri yang juga tidak dapat melupakan kasih sayang keluarganya. Kau ajarkan aku menjadi seorang yang siap menjalani kerasnya hidup tanpa melupakan kelembutan hati. Kau ajarkan padaku bagaimana menjadi pribadi yang kuat tanpa melupakan setiap orang punya kelemahan. Kau tanamkan padaku mencapai keberhasilan tanpa melupakan kalau setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan. Kau buat aku berdiri di jalan yang penuh dengan hambatan dan rintangan agarku dapat menaklukan kerasnya kehidupan. Kau jadikan aku sebagai seorang pemimpin yang sanggup memimpin dirinya sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain. Dan yang jauh lebih penting dari itu semua adalah kau membuat aku merasa bangga atas semua yang telah kau lakukan untukku.

Karena itulah, aku selalu berdoa ”semoga Tuhan selalu memberi yang terbaik untukmu”
Untuk setiap detak yang terjadi dalam nadi dan jantungku, hatiku berkata ”Terima Kasih Ayah”

Friday, 1 November 2013

Sumanto,ada di mana mana




                                                                    Sumanto,ada di mana mana

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (Al-Hujuraat: 12).

Mbah Rinah, nenek berusia 81 tahun, baru saja meninggal dunia. Ia dikubur di desa Mojotengah, Kemangkon, Purbalingga. Tiba-tiba warga setempat geger. Belum sampai 24 jam dikubur, mayat mbah Rinah raib. Terang saja insiden ini melahirkan spekulasi mitos yang tidak karu-karuan. Teka-teki berakhir ketika polisi menangkap Sumanto, sang pencuri mayat. Mula-mula Sumanto menggali kuburan dengan tangan kosong pada Sabtu, (11/1/2003). Pada Ahad dini hari, kain kafan pembungkus mayat baru berhasil disentuh. Mayat mbah Rinah dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam karung plastik. Mayat diangkut ke rumah Sumanto dengan sepeda onthel. Sesampainya di rumah, Sumanto memotong alat vital nenek itu dan membungkusnya dengan kain merah. Selanjutnya ia memotong-motong mayat seperti memotong daging kambing. Sebagian dagingnya dibakar, sebagian digulai, dan sebagian dimakan mentah-mentah. Begitulah Sumanto, sang kanibal dari Purbalingga yang belakangan mencuat. Untuk ilusi mendapatkan kekebalan dan kekayaan, ia tega melakukan ritual menjijikkan itu. Gilanya, ia bahkan mengaku telah memakan daging tiga manusia sebelumnya.

Tak terbayang oleh akal sehat. Sebagian warga menduga ia tidak waras. Adalah warga setempat berteriak histris dan merasa jijik saat Sumanto melakukan rekonstruksi. "Ini tidak lazim," kata mereka. Rapat desa juga memutuskan hendak mengasingkan Sumanto dari kampung mereka. Reaksi warga setempat tidaklah berlebihan. Siapa pun, dari bangsa mana pun, dari agama apa pun, berkulit apa pun, sulit membenarkan aksi Sumanto. Tak ada yang berkeberatan jika ia dikatakan gila segila-gilanya. Juga tak ada yang rugi jika ia harus diasingkan. Tak ada yang sudi berkawan dan bertetangga dengan orang semacam dia. Itulah mengapa warga setempat mengasingkannya, dan meminta kepada aparat agar ia dihukum seberat-beratnya.
Jika kita ditanya, "Maukah kalian meniru Sumanto?" Secara koor kita akan menjawab, "Tidak!" Ei, tapi tunggu dulu. Jawaban itu bukan berarti kita tidak berperilaku seperti Sumanto. Kok bisa? Ya, di dalam Alquran, Allah menyerupakan perbuatan menggunjing terhadap muslim (ghibah) dengan memakan bangkai manusia. Persis seperti yang dilakukan Sumanto.

"Janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya."

Setiap orang waras akan merasa jijik memakan bangkai manusia, terlebih bangkai saudara sesama muslim. Namun demikian, di dalam masyarakat gunjing-menggunjing antarsesama sudah seperti lumrah. Padahal, dalam ayat di atas, menggunjing orang lain disetarakan dengan memakan bangkai manusia.

Ibnu Katsir menceritakan dari Anas bin Malik bahwa adalah tradisi bangsa Arab bila bepergian mereka saling melayani. Dalam sebuah safar, Abu Bakar dan Umar disertai seorang pelayan. Saat keduanya terjaga dari tidur, sang pelayan belum menyediakan untuk mereka makanan. Beliau berdua berkata, "Sungguh ia orang mati (kiasan)," kemudian kedua membangunkannya dan menyeru, "Datanglah kepada Rasulullah dan sampaikan bahwa Abu Bakar dan Umar mengirimkan salam, serta meminta lauk." Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya keduanya telah memakan lauk." [Kontan, Abu Bakar dan Umar kaget], keduanya menghadap Rasulullah dan bertanya, "Dengan lauk apa kami makan?" Rasulullah menjawab, "Dengan daging saudara kalian. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh saya melihat dagingnya berada di antara gigi seri kalian." Keduanya r.a. lalu berkata, "Mintakan ampun untuk kami wahai Rasulullah!" Rasulullah menjawab, "Pergilah kepadanya dan mintalah maaf untuk kalian."

Tentu kita tidak seperti Rasulullah di atas, yang atas karunia Allah dapat melihat daging pada gigi seri bekas menggunjing. Namun, meski secara hissy (materiil) kita tidak dapat melihat, ayat di atas menegaskan bahwa secara maknawi, perilaku ghibah diserupakan dengan memakan daging manusia.

Lantas apakah ghibah itu? Rasululullah pernah menjawab kepada Abu Hurairah, "Ghibah itu adalah membicarakan tentang saudaramu terhadap apa yang ia tidak sukai." "Bagaimana jika padanya terdapat seperti apa yang saya katakan?" tanya Abu Hurairah. "Jika ada padanya seperti yang anda katakan, maka engkau telah menggunjingnya (ghibah). Namun, jika tidak ada padanya seperti yang anda katakan, maka engkau telah membuat kebohongan atas dia." (Tirmizi, hasan sahih)

Suatu ketika Aisyah r.a. berkata kepada Nabi saw., "Cukuplah bagimu tentang Shafiyah itu begini dan begini." (Maksudnya Shafiyah itu badannya pendek). Maka Rasulullah saw. bersabda, "Sungguh, engkau telah mengucapkan sesuatu perkataan, yang sekiranya dicampur dengan air laut, maka perkataan itu dapat mencampurinya." (Abu Dawud dan Tirmidzi). Maksudnya, sekiranya perkataan itu bercampur dengan air laut, niscaya air laut tersebut berbau busuk semua. Padahal, air laut itu tidak akan busuk lantaran kadar garamnya banyak. Ini menunjukkan betapa dahsyat keburukan ghibah.

Al-Imam an-Nawawi berkata dalam al-Adzkar, "Adapun ghibah adalah engkau menyebut seseorang dengan apa yang ia tidak sukai, sama saja apakah menyangkut tubuhnya, agamanya, dunianya, jiwanya, fisiknya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orang tuanya, istrinya, pembantunya, budaknya, sorbannya, pakaiannya, cara jalannya, gerakannya, senyumnya, muka masamnya, atau yang selainnya dari perkara yang menyangkut diri orang tersebut. Sama saja apakah engkau menyebut tentang orang tersebut dengan bibirmu, atau tulisanmu, isyarat matamu, isyarat tanganmu, isyarat kepalamu atau yang semisalnya...."

Demikianlah ghibah. Ia dapat meruntuhkan kehormatan seseorang yang digunjing. Karena, kehormatan tidak hanya aurat, tetapi kehormatan juga berupa celaan atau pujian. Ketika kita menggunjing seseorang, hakikatnya kita telah menggerogoti kehormatannya. Padahal, menjaga kehormatan sesama termasuk inti wasiat Rasulullah dalam khutbatul wada': "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian seperti halnya keharaman hari kalian ini." Tidak hanya itu, diakhir khotbah Rasulullah menegaskan, "Ingatlah, adakah aku sampaikan?" "Ya," jawab para Sahabat. Beliau kemudian berkata, "Ya Allah, saksikanlah!" (Bukhari dan Muslim).

Jangan dikira bahwa keharaman zina dan riba lebih besar daripada keharaman menginjak-nginjak harga diri dan kehormatan seorang muslim. Dalam sebuah hadis sahih dinyatakan, "Riba itu ada tujuh lebih cabangnya. Yang paling rendah tingkatannya ialah seperti seorang laki-laki yang berzina (menikahi) dengan ibunya sendiri dibawah tirai Kakbah. Sedangkan yang paling tinggi tingkatannya ialah seperti seorang muslim yang mencemarkan harga diri saudaranya muslim." (Al-Albany, al-Jami'us Shaghir).

Bukan berarti setiap menyebut aib sesama dilarang. Dalam konteks tertentu, penyebutan aib seseorang dapat dibenarkan, seperti disebutkan Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin, misalnya mengadukan kezaliman seseorang pada pihak berwenang dalam rangka meminta fatwa (istifta'), dalam rangka jarh wat-ta'diel, dalam rangka musyawarah mencari jodoh, menyebut kejelakan orang yang terang-terangan berbuat maksiyat, dan menyebut seseorang dengan gelaran yang ia masyhur dengannya.

Jika Sumanto Purbalingga yang suka makan tubuh orang tengah menghadapi proses hukum, "Sumanto" dalam makna lain tangah bergentayangan di tengah kita. Semoga kita dapat menjaga lisan dari menggunjing sesama, sehingga tidak masuk dalam kafilah "Sumanto". Nastaghfirullah al-adhim. Wallahu a'lam. (Abu Zahrah).

pesan saya, jika kata tak lagi bermakana, lebih baik diam saja

Monday, 28 October 2013







JANGAN BERKECIL HATI KALAU ADA MURID YANG BODOH
( Petuah Mbah Hamid kepada Ustadz Syamsul )

Al-Kisah , ada seorang ustadz  mengajar ilmu nahwu di Pon-Pes Salafiyah ( Pondoknya Mbah Hamid ), Mulai ba’da shalat shubuh Ust. Syamsul mulai mondar mandir di depan kantor madrasah salafiyah. Yang diberpikir tiada lain adalah menggunakan metode apakah yang paling tepat agar semua anak didiknya mendapat nilai bagus semua. Padahal jika dilihat, nilai siswa pada pelajaran nahwu yang diajarkan oleh Ust. Syamsul terbilang lumayan relatif, seperti layaknya sekolah-sekolah formal yang lain pastilah ada satu dua anak yang dapat nilai merah.

Sudah hampir jam masuk sekolah Ust. Syamsul masih saja mondar-mandir di depan kantor madrasah. Ketika itu Kiai Hamid yang berada di teras ndalem melihat Ust. Syamsul yang terlihat seperti orang linglung. Kiai Hamid pun datang menghampiri Ust. Syamsul.

“Sul,  ayo melok aku.” (Su,  Ayo ikut Saya). Ajak Kiai Hamid. Lalu, Ustad yang kini mengisi jajaran staf pengajar di madrasah tsanawiyah dan aliyah tersebut digandeng tangannya sampai di samping ndalem (kediaman) Kiai Hamid. Di situ Ust. Syamsul ditunjukkan sebuah pohon kelapa yang masih sedikit buahnya.
“Sul, awakmu weroh ta lek krambil iku gak kiro dadi kelopo kabeh. Yo onok singlugur, onok sing dadi degan langsung di ondoh, onok seng dadi kelopo iku mek titik, loh ngono iku mau masio wes dadi kelopo kadang sek dipangan bajing. Cobak pikiren mane, seumpamane lek kembang iku dadi kabeh, singsakaken iku uwite nggak kuat engkok”.
(Sul, apakah kamu tahu, kalau “krambil” (bunga kelapa) itu tidak akan jadi kelapa semuanya. Ya ada yang terjatuh, ada yang masih jadi degan akan tetapi sudah diambil, ada juga yang sudah jadi kelapa, itu pun sedikit. Walau pun sudah jadi kelapa, terkadang belum dipanen sudah dimakan sama tupai dulu. Coba kamu pikir, kalau bunga itu jadi kelapa semua, yang kasihan itu pohonnya, pasti tidak akan kuat.) ujar Kiai Hamid.

 Belum sempat menjawab Kiai Hamid melanjutkan lagi. “anggepen ae wet kelopo iku mau guru, lek onok guru muride dadi kabeh yo angel, yo onok sing bijine elek, yo onok sing pas-pasan. Yo onok mane sing apik. Engko lek muride oleh nilai apik kabeh sak’aken gurune, biso-biso lek nggak kuat guru iku mau biso ngomong “ikiloh didikanku, dadi kabeh sopo disek gurune” lah akhire isok nimbulno sifat sombong.
( anggap saja pohon kelapa itu sebagai gurunya, kalau ada seorang guru yang berkeinginan semua muridnya itu sukses ya sulit, ya ada yang nilainya jelek, ya ada yang pas-pasan, ya ada lagi yang baik. Nanti kalau muridnya dapat nilai baik semua, kasihan gurunya, bias-bisa kalau nggak kuat guru tadi bias bilang “ inilah didikanku, semua jadi orang berhasil,siapa dulu gurunya “ kan akhirnya menimbulkan sifat sombong )
Petuah yang sangat menyejukkan hati….