RSS
Facebook
Twitter

Friday 1 November 2013

Renaissance islam



                                                       
                                                          
                                                                           Renaissance islam

Istilah renaissance secara sederhana bisa di artikan kelahiran kembali atau kebangkitan kembali. Istilah ini mungkin pertama muncul sekitar abad 14-15 di Eropa. Karena itu mau tak mau kita harus mengetahui sejarahnya. Abad tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali dunia Barat (yang waktu itu hanya mencakup Eropa) meraih capaian kemanusiaan yang hilang atau rusak selama sekitar 1.000 tahun. Umumnya orang menilai bahwa perioda suram sejarah Barat tersebut bermula dari peristiwa penaklukan terhadap Kerajaan Romawi Barat oleh beberapa bangsa yang dianggap masih biadab tahun 476 hingga peristiwa “penemuan” benua yang kini dikenal dengan Amerika oleh Christophorus Colombus tahun 1492. Perioda 476-1492 lazim disebut Dark Ages (Abad Kegelapan) atau Middle Ages (Abad Pertengahan). Praktis tidak banyak prestasi kemanusiaan atau sumbangsih Barat untuk kemanusiaan yang lahir pada perioda tersebut.

Walaupun masih ada Kerajaan Romawi Timur atau Bizantium hingga 1453, runtuhnya Romawi Barat dinilai sebagai runtuhnya peradaban Barat. Barat terperangkap dalam kolusi negara-gereja yang cenderung menindas terhadap kemerdekaan, terutama kemerdekaan berfikir. Padahal kemerdekaan berfikir adalah termasuk dasar untuk membangun peradaban.

Siapa yang memiliki pendapat yang berbeda dengan negara atau gereja, dia akan menerima sejumlah resiko: dikucilkan, disiksa atau bahkan dibunuh dengan sejumlah tuduhan pula semisal “murtad”, “kafir”, “pembangkang” atau “pemberontak”. Jelas suasana demikian tidak memberi kesegaran untuk berfikir.

Ketika Barat terjerumus dalam perioda kegelapan, Timur sedang mengalami perioda kejayaan dalam segala bidang praktis tanpa putus sejak awal muncul peradaban manusia yang memang muncul di Timur sejak sekitar 5000 BC ( baca: sebelu masehi) hingga 1800 AD ( baca: masehi). Berbagai pemerintahan dan peradaban muncul silih berganti memberi sumbangsih kepada kemanusiaan, termasuk ke Barat. Mungkin –minimal pada zaman itu– lahir pemerintahan identik dengan lahir peradaban. Pemerintahan akan memungkinkan tercipta masyarakat yang teratur. Keteraturan tersebut memungkinkan manusia berkarya dengan tenang sehingga muncul peradaban.

Selama berabad-abad Barat dikuasai oleh satu kekuatan, awalnya Yunani dan kemudian Romawi. Dengan demikian praktis Barat mengandalkan atau dikuasai peradaban tunggal yaitu gabungan peradaban Yunani-Romawi. Ini mungkin tak terlepas dari dunia Barat yang dihuni oleh masyarakat yang praktis seragam, berasal dari rumpun yang sama. Dengan demikian, ketika Romawi Barat runtuh, praktis runtuh pulalah peradaban Barat.

Dunia Timur –yang hingga kini mencakup Asia, Afrika dan ada yang menambah dengan  Pasifik– dihuni oleh masyarakat yang beragam, lebih dari 1 rumpun. Dengan demikian Timur tidak dikuasai oleh satu kekuasaan atau satu peradaban. Ada peradaban Mesir, Mesopotamia, Arabia, India, Cina dan sebagainya. Antara satu dengan lainnya memiliki ciri tersendiri, persamaan jarang didapat. Dengan demikian, walaupun ada perang, peradaban runtuh atau berbagai kekacauan di Timur tidaklah berakibat seluruh Timur terjerumus dalam keruntuhan, minimal hal tersebut bertahan hingga abad ke-19. Sebagai misal, jika di Cina terjadi kemunduran, di India dan negeri lain masih ada kemajuan. Atau jika di India terjadi kekacauan, di Cina dan di negeri lain masih ada keteraturan. Karena kekuasaan dan peradaban di Timur tidak tunggal terhimpun, tetapi tersebar di beberapa negeri atau masyarakat.

Ada hal lain yang perlu diketahui dan di catat, kemajuan yang diraih oleh Barat sesungguhnya berasal dari Timur. Kejayaan Barat perioda sekitar 1000 BC - 500 AD (termasuk Yunani-Romawi) juga hasil belajar yang lama dari Timur, khususnya Asia Barat atau lazim disebut “Timur Tengah” dan Afrika Utara atau lazim disebut “Timur Dekat”.

Kebangkitan kembali dari perioda Abad Kegelapan juga tak lepas dari proses belajar dari Timur. Hasilnya, dari sekitar tahun 1800 hingga kini untuk pertama kalinya Barat mengungguli Timur dalam banyak bidang.

Gerakan Renaissance di Barat tidak terlepas dari tantangan. Selama beberapa abad usaha melawan penindasan negara-gereja mengalami kegagalan. Tetapi penindasan tersebut tidak mampu membendung arus orang Barat untuk belajar ke Timur. Walaupun hubungan Barat-Timur sempat rusak berat oleh perang salib (1095-1291), yaitu usaha Barat untuk meraih bekas wilayah jajahan di Asia Barat dan Afrika Utara sekaligus cikal bakal perang kolonial abad ke-16, pemulihan hubungan pasca perang boleh dibilang relatif cepat. Perang tersebut justru berakibat makin mendekatkan Barat dengan Timur.

Sepulang dari Timur, orang Barat mengembangkan berbagai pengaruh Timur semisal dalam teknologi. Beberapa lembaga pendidikan dibentuk antara lain Heidelberg yang terletak di jerman, Cambridge terletak di inggris, Leiden terletak di belanda dan lain-lain. Demikian pula kelompok intelektual. Hasrat lepas dari kungkungan berfikir tak dapat dibendung lagi dan berarti konflik beserta korban antara pro Renaissance dengan anti Renaissance tak terhindarkan lagi. Galileo Galilei adalah satu di antara banyak korban konflik tersebut.

Di dalam gerakan Renaissance juga terdapat gerakan pembaharuan pemahaman dan pengamalan agama yang lazim disebut “Reformasi Protestan” atau lazim hanya disebut “Protestan”. Gerakan ini jelas menolak hak gereja Katholik sebagai penafsir atau pemberi pendapat tunggal agama yang harus dipatuhi tanpa tanya atau kritik. Perintisnya adalah Martin Luther dari Jerman dan Jean Cauvin atau John Calvin dari Perancis. Kelak dari nama mereka muncul gereja Lutheran dan gereja Kalvinis.
Di bidang ilmiyah, muncul Nicolaus Copernicus dan Galileo dengan teori mengenai tata surya. Teori tersebut dianggap bertentangan dengan pendapat gereja sehingga Galileo pernah berurusan dengan pendeta. Namun teori tersebut semakin banyak pendukungnya.

Gerakan Renaissance bersamaan waktunya dengan pagelaran imperialisme Barat secara besar-besaran. Pelaku dan korban lebih dari satu. Sesungguhnya imperialisme Barat sudah ada sejak lama, tetapi perkembangan yang pesat terjadi sejak abad ke-16. Perkembangan teknologi pada masa itu –khususnya pelayaran dan persenjataan– membangkitkan hasrat beberapa bangsa Barat menjelajah dan menjajah ke seantero dunia.

Di benua yang baru dikenal –Amerika dan Australia– imperialis Barat boleh dibilang tidak mendapat perlawanan berarti. Mengingat kedua benua tersebut terbilang luas dibanding jumlah penduduknya, dan juga umumnya masih primitif. Demikian pula di Samudera Pasifik. Memang, ada peradaban canggih pribumi di tengah dan selatan Amerika tetapi ternyata praktis mudah ditaklukan.

Di Asia-Afrika, penduduknya boleh dibilang banyak jika diukur dengan luasnya. Umumnya penduduk di wilayah tersebut telah memiliki peradaban canggih sejak lama, jauh ketika Barat masih primitif. Dengan demikian, penaklukan ke wilayah tersebut jauh lebih sulit. Perlawanannya berat. Agaknya, imperialisme termasuk dalam gerakan Renaissance Barat.

Bersamaan dengan itu, secara menyeluruh Timur masih bertahan hingga awal abad ke-19. Turki, Maroko, Persia, Cina dan India masih mampu menjadi fihak-fihak yang dikagumi prestasinya, terutama di bidang militer. Warisan prestasi tersebut masih banyak yang ada di negeri-negeri tersebut hingga kini. Tetapi suatu kebangkitan berupa pencerahan yang mampu mewujudkan prestasi segar tetap diperlukan, mengingat proses pembusukan peradaban telah muncul akibat kurang atau tidak ada pembaharuan dan tidak waspada dengan kebangkitan Barat. Timur seakan mengalami suatu “kelelahan melahirkan” prestasi peradaban. Orang umumnya cenderung sudah puas atau mengagumi prestasi atau kejayaan masa lalu, tanpa memperbaharuinya. Jika ada yang memperjuangkan pembaharuan atau kebangkitan, masyarakat cenderung menilai hal tersebut sebagai murtad, kafir, pembangkang dan pemberontak. Mirip dengan Barat perioda Abad Kegelapan. Bahkan imperialisme Barat mendukung sikap anti kebangkitan dan membantu kekuatan lokal yang anti untuk melawannya, apakah diminta ataupun tidak. Inilah yang juga dialami gerakan yang menjadi pokok pembahasan ini: Wahhabi (Wahhabiy)!

LATAR BELAKANG

Ditinjau dari namanya, jelas Wahhabi adalah nama Arab (‘Arabiy). Dan jika ingat Arab, maka umumnya cenderung ingat agama mayoritas bangsa tersebut: Islam.
Memang, Wahhabi adalah nama gerakan atau faham yang lahir di Arabia (‘Arabiyyah) dan berkaitan dengan Islam. Sesungguhnya nama tersebut tidak dipakai oleh pembentuk atau pengikutnya. Sebutan “Wahhabi” justru bermula dari para musuhnya. Kemudian sadar tidak sadar dipakai oleh umum.

Nama asli gerakan tersebut adalah Muwahhid yang bermakna Kaum Monoteis atau Kaum Bertuhan Satu. Sebutan Wahhabi adalah untuk memfitnah atau menjelekkannya sebagai faham “berbahaya” atau “sesat”, sehingga orang menjadi alergi, benci atau takut dengan nama Wahhabi. Hingga kini sekta Wahhabi dinilai “sempit”, “kaku”, “kejam”, “licik” atau “garang”. Jika ada gerakan yang ingin memperjuangkan pemahaman dan pengamalan Islam secara murni dan konsekuen, maka mendapat beberapa sebutan antara lain Wahhabi. Gerakan al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin yang ramai dibahas menampilkan atau mengingatkan kembali pada nama Wahhabi mengingat Usamah berasal dari Arabia, tepatnya Kerajaan Arab Saudi (al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Sa’udiyyah). Negara ini jelas memilih Wahhabi sebagai faham resmi negara. Bahkan keluarga Usamah memiliki hubungan akrab dengan keluarga kerajaan, yaitu keluarga Sa’udiy. Karena tekanan imperialis Barat, Usamah harus pergi dari negerinya, dijauhi keluarganya dan dibekukan asetnya. Beberapa gerakan kebangkitan Muslim semisal di Chechnya, Tadzikistan dan Sinkiang di Cina dituduh sebagai gerakan yang terkait dengan al-Qaidah dan kadang disebut dengan Wahhabi.

Sesungguhnya nama Wahhabi berasal dari nama Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, seorang ulama asal Provinsi Najad, di bagian tengah Arabia. Dia mencoba membangkitkan kaum Muslim dari kebekuan atau penyimpangan dalam memahami dan mengamalkan agama. Dia menilai bahwa dua hal tersebut adalah penyebab pokok keruntuhan kaum Muslim, keruntuhan yang mulai terasa sejak abad ke-13.

Islam lahir di Arabia disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW (570-632). Agama ini tidak hanya membahas perkara ritual tetapi juga sosial. Segala aspek terbahas di dalamnya dengan mengacu pada konsep rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta). Karena itu perjuangan Nabi Muhammad tidak hanya mencakup pembenahan ritual tetapi juga sosial.
Ketika dia lahir, Arabia telah mengalami abad kegelapan dengan sebutan khas jahiliyah selama sekitar 500 tahun. Perpecahan di dalam dan penjajahan dari luar telah meruntuhkan peradaban Arab, peradaban yang sempat diperhitungkan dunia.

Pembenahan yang dilaksanakan Muhammad mendapat tantangan hebat dari masyarakat. Selama sekitar 12 tahun berjuang di kampung halamannya (Makkah) hanya meraih sedikit pengikut. Sambutan simpatik justru datang dari Madinah, sekitar 450-500 km dari Makkah. Gerakan Muhammad berangsur-angsur tersiar, ada yang mendukung ada yang menentang.

Pada tahun 622 dia dan pengikutnya pindah ke Madinah. Perpindahan tersebut merupakan peristiwa penting karena merupakan titik balik nasib kaum Muslim. Peristiwa tersebut lazim disebut “hijrah” dan menjadi dasar kalendar Muslim. Di Madinah, kaum Muslim untuk pertama kali mendapat kekuasaan membentuk pemerintahan dengan segala kelengkapannya.

Pertumbuhan kaum Muslim tetap tidaklah sepi dari tantangan. Berbagai kelompok dalam masyarakat Arab mencoba menumpas umat baru ini, bahkan juga dari dua superpower yaitu Persia dan Bizantium. Berbagai perang bahkan digelar. Usaha tersebut gagal walaupun kaum Muslim banyak menderita korban. Pelan tapi pasti, kaum Muslim meraih pengaruh di Arabia.

Tahun 630 Makkah ditaklukan dan ketika Nabi Muhammad wafat pada 632, sebagian besar Arabia telah takluk.
Para penggantinya, yang lazim disebut “khalifah” mencoba mempertahankan dan menambah perolehan yang telah diraih, dan hal tersebut harus melalui perjuangan pula. Bizantium dan Persia dianggap penghalang utama karena “mengepung” Arabia dan terbukti mengganggunya. Karena itulah melawan dua superpower tersebut sekaligus adalah satu-satunya pilihan.

Peperangan dan penaklukan dilaksanakan dan sukses, Persia takluk sepenuhnya dan Bizantium kehilangan banyak wilayah. Kehadiran kaum Muslim umumnya disambut lega oleh warga kedua negeri tersebut karena penindasan yang dilaksanakan oleh penguasanya. Kaum Muslim memberi banyak kebebasan termasuk kebebasan menganut agama. Karena itu istilah perluasan wilayah dikenal dengan istilah futuh atau fatah yang bermakna pembukaan atau pembebasan.

Ternyata penindasan tak hanya terdapat di Persia dan Bizantium. Di Iberia dan Turkistan tak jauh berbeda, rakyat berharap kebebasan. Penindasan telah berlangsung lama dan tak dapat ditanggung lagi.

Pasukan Muslim –umumnya Arab– segera melebarkan jangkauannya. Mereka bergerak menuju Turkistan dan India tahun 706 serta Iberia tahun 711. Pada tahun 732 –seabad setelah Muhammad wafat– kaum Muslim telah menguasai wilayah terbentang dari pantai Atlantik hingga perbatasan Cina.
Kaum Muslim segera menyadari bahwa sebagian besar penduduk wilayah taklukannya telah memiliki peradaban canggih semisal Mesir dan Mesopotamia. Bahkan di Arabia pun pernah muncul peradaban demikian semisal Mina’iyyah, Saba’iyyah, Himyariyyah dan Nabathiyyah. Wilayah taklukan yang berbatasan dengan Cina dan India juga memungkinkan kaum Muslim mengenal kedua peradaban tersebut.

Mengingat Islam menghargai ilmu, maka kaum Muslim dengan penuh gairah mewarisi berbagai peradaban tersebut dengan giat belajar. Para pakar dan buku yang berkaitan dengan peradaban tersebut didatangkan, tidak peduli apapun latar agamanya.

Hasilnya mengagumkan, selama sekitar perioda 700-1400 kaum Muslim tidak hanya menerima hasil temuan dan ciptaan dari orang lain tetapi juga menjadi penemu, pencipta dan penyebar peradaban, termasuk ke Barat. Tampil tokoh-tokoh semisal al-Khawarizmi, Jabir ibnu Hayyan, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Ghazaliy, al-Kindi, Ibnu Khaldun, Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanbali dan Imam Hanafi. Karya-karya intelektual mereka masih berpengaruh hingga kini.
Sebagaimana halnya dengan masyarakat lain, kaum Muslim juga mengalami perpecahan dan penaklukan. Hal tersebut mulai muncul sekitar awal abad ke-11. Usaha imperialis Barat merebut kembali bekas wilayah jajahannya yaitu yang pernah menjadi jajahan Bizantium, serta penyerbuan bangsa primitif Turki-Mongol mempengaruhi peradaban Muslim. Banyak pustaka dan sekolah dijarah atau dirusak serta para pakar yang ditawan atau dibunuh.
Usaha imperialis Barat tersebut gagal mencapai maksud dan bangsa Turki-Mongol berangsur-angsur menjadi Muslim, mereka membangun kembali peradaban yang pernah mereka hancurkan semisal di Persia, India dan Turkistan.

Gejala pembusukan peradaban telah dirasakan oleh Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim pada abad ke-14. Mereka berdua mencoba membangkitkan kesadaran kaum Muslim untuk berbenah tapi tak banyak hasilnya. Gerakan kebangkitan harus menunggu sekitar 400 tahun lagi untuk tampil.

Gerakan Wahabi Dalam Sejarah

Muhammad bin ‘Abdul Wahhab lahir di Uyaynah –kini masuk Provinsi Najad– pada tahun 1703. Sebelum minyak ditemukan pada abad ke-20, Najad boleh dibilang “menyajikan” suatu masyarakat khas pengelana. Praktis tidak banyak peradaban kota di wilayah tersebut mengingat wilayah tersebut terkurung karena relatif jauh dari pesisir dan melintasi gurun. Bahkan apa yang dinamakan kota sesungguhnya banyak yang hanya kumpulan pondok dari lumpur. Selama berabad-abad Najad bebas dari penaklukan asing dan tentunya tidak banyak pengaruh asing di situ. Penaklukan asing hanya menguasai pesisir barat yaitu Laut Merah dan pesisir timur yaitu Teluk Persia. Selama hidupnya, kedua pesisir tersebut dikuasai Kerajaan Turki Usmani (al-Mamlakah al-‘Utsmaniyyah). Kerajaan Muslim yang berlangsung dari 1299 hingga 1924.
Asal muasal bangsa Turki bukanlah Asia Barat, tetapi Asia Tengah. Mereka berangsur-angsur bergerak ke Asia Barat, Afrika Utara dan Eropa Timur. Membangun kekuasaan dan peradaban. Mereka berperan membendung hasrat imperialisme Barat pada perioda perang salib dan kemudian perang kolonial.
Pada abad ke-16 Usmani menaklukan Arabia, pesisir barat sejauh Yaman dan pesisir timur sejauh Qathar. Adapun bagian tengah yaitu Najad dibiarkan bebas. Hal tersebut bertahan sampai akhir Perang Dunia I (1914-1918).

Di Najad tidak ada kerajaan. Yang ada ialah kekuasaan para kepala suku yang tersebar dan cenderung saling bermusuhan. Perang antar suku lazim terjadi, yang kalah disita hartanya dan dirinya mungkin menjadi budak atau minimal penguasa bawahan (vassal). Kehidupan yang keras memang.
Dalam suasana demikian Ibnu ‘Abdul Wahhab hidup: lahir, tumbuh dan kemudian wafat. Sejak kecil sudah dididik untuk tegar. Pendidikan agama pun ditempuh.
Seiring dengan waktu, dia tumbuh dewasa dan mencoba memahami keadaan masyarakat. Dengan kecerdasannya dia menilai bahwa masyarakatnya memiliki pemahaman dan pengamalan agama yang tidak murni. Walaupun wahyu dan hadits berbahasa Arab, tetapi agaknya bukan jaminan bagi masyarakatnya untuk memahami dan mengamalkan Islam dengan tepat. Apakah masyarakat Muslim di tempat lain juga demikian? Mungkin itulah pertanyaan yang mengusiknya.

Pertanyaan itu terjawab ketika dia belajar di luar kampung halamannya antara lain Madinah, Baghdad, Bashrah, Kurdistan dan Qum. Dia menilai –berdasar perjalanan belajarnya– bahwa keruntuhan peradaban Muslim praktis merata di seantero dunia Muslim. Keadaan masyarakat di tempat-tempat yang dikunjunginya dapat dianggap mewakili keadaan dunia Muslim. Sumber utamanya ya kebekuan dan penyimpangan dalam memahami dan mengamalkan Islam.
Walaupun dia mempelajari beberapa faham dalam Islam, tetapi dia tetap menganut faham Hanbali, yang mayoritas dianut di wilayah Arabia. Istilah “Hanbali” berasal dari nama Ahmad bin Hanbal, seorang ulama yang hidup pada abad ke-9. Mengenai faham pemurniannya dia terpengaruh oleh faham Ibnu Taymiyyah.
Sepulang dari kelana, dia segera memperkenalkan fahamnya tentang agama dan dia juga menulis buku Kitab al-Tauhid (Buku Monoteis), dan segera pula mendapat tantangan dari masyarakatnya. Mungkin dia sudah menduga hal tersebut, contoh dalam sejarah begitu banyak tentang hal itu. Contoh yang paling mudah, ya riwayat para nabi. Setiap perubahan –sebaik apapun– tidaklah sepi dari tantangan.

Ibnu ‘Abdul Wahhab menilai kebekuan dan penyimpangan tersebut membuahkan dua hal yang sangat bertentangan dengan Islam yaitu syirik dan bid’ah. Syirik dalam bentuk yang murni adalah faham mempersekutukan tuhan semisal percaya pada keramat kubur, ramalan dukun, keramat benda dan memuja kepada selain Allah. Adapun bid’ah adalah praktek ritual yang dasarnya tak terdapat atau tidak jelas dalam sumber asli Islam, kitab al-Qur’an dan sunnah Muhammad.

Praktis dunia Muslim dilanda suasana “keramat” atau “kuburan”. Muncul ajaran yang bukan-bukan –lazim disebut “khurafat”– yang sangat sulit dibersihkan.
Tantangan masyarakatnya memaksa dia pindah ke Dar’iyyah atau Dir’iyyah, masih wilayah Najad. Di situ dia berkenalan dengan seorang kepala suku bernama Muhammad bin Sa’ud, leluhur keluarga Kerajaan Arab Saudi. Mirip kisah Muhammad yang diusir dari Makkah dan disambut ramah di Madinah, Ibnu ‘Abdul Wahhab disambut ramah oleh Ibnu Sa’ud. Mulailah “duet 2M” berlangsung: Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dan Muhammad bin Sa’ud. Kerja sama mereka akan membawa faham Wahhabi dan keluarga Sa’udiy tampil ke panggung dunia.

Adapun leluhur Sa’ud telah berada di Dar’iyyah sejak sekitar tahun 1500, mengusahakan perkebunan kurma dan menetap di situ.
Dengan dukungan Ibnu Sa’ud, Ibnu ‘Abdul Wahhab bergerak merusak beberapa kubur yang dianggap keramat di sekitar Uyaynah. Pada tahun 1744 mereka mengikat diri dalam sumpah setia menurut Islam –lazim disebut bai’at– akan membentuk negara berdasar Islam. Ketika itu Ibnu Sa’ud telah dilantik berdasar kesepakatan para pemimpin suku sebagai pemimpin mereka. Revolusi Wahhabi mulai.

Sebelum kita berlanjut lebih jauh ada baiknya untuk mengetahui sekilas tentang keadaan di luar Arabia ketika mereka hidup.

Pada pertengahan abad ke-18 di Barat –saat itu sudah mencakup tidak hanya Eropa, tetapi juga Amerika dan Australia– muncul gerakan kebangkitan lanjutan dari Renaissance yaitu apa yang dinamakan Aufklarung (Pencerahan). Di benua Amerika berkobar Revolusi Amerika (1775-1783), yaitu usaha warga Amerika Utara lepas dari Kerajaan Inggris dan membentuk negara sendiri. Usaha tersebut sukses dan lahir negara baru yaitu Republik Amerika Serikat, yang kelak menjadi negara superpower sejak usai Perang Dunia II (1939-1945).

Di Eropa muncul revolusi teknologi yaitu penemuan mesin uap praktis oleh James Watt tahun 1769, lazim dianggap sebagai awal dari Revolusi Industri. Penemuan tersebut kelak akan membebaskan sebagian tenaga manusia dan digantikan mesin dalam menghasilkan barang dan jasa.
Revolusi politik juga muncul di Eropa yaitu Revolusi Perancis yang bermula pada 14 Juli 1789, revolusi tersebut menumbangkan sistem kerajaan di Perancis. Kelak Perancis menjadi imperialis terbesar kedua setelah Inggris pada abad ke-19.

Ketiga peristiwa yang menjadi ciri pokok Aufklarung tersebut menempatkan dunia Barat mengungguli Timur pada abad ke-19 sebagaimana telah tersebut di atas.
Ibnu ‘Abdul Wahhab kemungkinan besar tidak tahu tentang kebangkitan tersebut, karena itu gerakan kebangkitan yang dia laksanakan juga kemungkinan besar adalah inisiatif murninya. Dia hanya tahu bahwa kaum Muslim sedang loyo. Jika ada persamaan waktu antara dua kebangkitan tersebut, dapat dianggap hanya kebetulan.
Ibnu Sa’ud mulai bergerak ke beberapa kota dan desa di Najad untuk menaklukan sekaligus menumpas praktek keagamaan yang dinilai bertentangan dengan kemurnian Islam –khususnya Syi’ah– mengingat bagian timur Arabia terdapat masyarakat Syi’ah yang terbilang besar. Arabia Timur dekat dengan Iraq (‘Iraq) dan Iran, dua negeri berpenduduk mayoritas Syi’ah. Sejak ribuan tahun silam Arabia Timur mendapat pengaruh dari kedua negeri tersebut.

Muslim Syi’ah muncul pada abad ke-7. Istilah tersebut bermakna “pengikut”, maksudnya pengikut ‘Ali bin Abu Thalib, seorang menantu Nabi Muhammad sekaligus termasuk apa yang disebut “Sepuluh Sahabat Mulia” (‘Asyrat al-Kiraam) karena 10 orang tersebut telah diberitahu nabi bahwa mereka masuk surga. Kelompok ini pada awalnya muncul karena motif politik bercorak teokrasi. Mereka percaya bahwa yang berhak menjadi pengganti Muhammad sebagai pemimpin kaum Muslim adalah keturunan nabi melalui pasangan ‘Ali dengan Fathimah al-Zahra, putri nabi. Syi’ah menyebut pemimpin tersebut sejak ‘Ali dan keturunannya sebagai “imam”. Ini berbeda dengan Muslim Suni atau Ahl al-Sunnah wal Jama’ah, yang menilai bahwa pemimpin Muslim pasca nabi berasal dari pemilu.

Perbedaan yang berasal dari politik akhirnya merambah ke bidang agama.

Sementara itu, Ibnu Sa’ud wafat pada tahun 1765, penggantinya yaitu ‘Abdul ‘Aziz tetap memilih Ibnu ‘Abdul Wahhab sebagai penasehat dalam hal agama. Ibnu ‘Abdul Wahhab wafat pada tahun 1792.

Sebagaimana Ibnu Sa’ud dan juga berbagai kepala suku, ‘Abdul ‘Aziz bertekad ingin menjadi penguasa terkemuka di Arabia –ambisi yang telah ada sejak ribuan tahun sebelumnya. Untuk itu dia perlu dasar ideologi yang jelas dan faham Ibnu ‘Abdul Wahhab menjadi pilihan. Tetapi nama resminya adalah Muwahhid, nama yang menjelaskan faham yang menolak syirik dan bid’ah. Dengan demikian perluasan kuasa Sa’ud seiring dengan perluasan pengaruh Wahhabi. Sejak 1765 faham Wahhabi dan juga kuasa Sa’ud mencakup sebagian besar Najad.

Jika gerakan Wahhabi hanya berkutat di Najad, hampir pasti dunia hanya memberi kepedulian kecil pada mereka. Pada awalnya pemerintah Turki cenderung meremehkan gerakan tersebut sebagai gejolak sesaat atau konflik antar suku yang lazim terjadi, dalam arti tiada membawa ideologi tertentu. Lagi pula, gerakan tersebut tampil di luar wilayah taklukan Turki.

Urusannya menjadi lain ketika Wahhabi bergerak ke luar Najad. Pada tahun 1801 pasukan Wahhabi bergerak menuju Karbala di Iraq –kota suci Syi’ah– karena berkaitan dengan peristiwa kematian cucu nabi yaitu Hussayn bin ‘Ali bin Abu Thalib pada abad ke-7. Mereka menyerang, membunuh, merusak dan menjarah kota tersebut, bukan hanya tempat-tempat suci yang menjadi target perusakan dan penjarahan tetapi juga aset lain. Sekitar dua tahun kemudian mereka menyerbu Hijaz, wilayah di mana kota suci utama Muslim yaitu Makkah dan Madinah berada –lazim disebut wilayah “Haramayn”.

Di Haramayn mereka tidak melaksanakan perusakan dan penjarahan sedahsyat ketika menyerang Iraq, mengingat wilayah tersebut adalah “jantung” dunia Muslim dan mayoritas warganya adalah Suni juga. Perusakan dan penjarahan dilaksanakan dengan lebih cermat yaitu peninggalan yang (waktu itu) dikeramatkan. Mungkin mereka coba meniru tindakan Muhammad SAW menghancurkan berhala ketika menaklukan Makkah pada tahun 630.

Penaklukan Hijaz berakibat gerakan Wahhabi berhadapan dengan sisa dunia, khususnya dunia Muslim. Kaum Muslim, terutama Syi’ah, cemas jika tempat-tempat suci lain menjadi target berikutnya dan jalan masuk ke Haramayn dibatasi. Selain itu penaklukan Hijaz adalah lambang yang penting, karena pemerintah Usmani –yang merupakan kekuatan terpenting dalam dunia Muslim– secara resmi menguasai Hijaz. Usmani jelas menolak penguasaan Hijaz oleh siapapun selain dirinya.
Usmani ingin bertindak tapi sulit. Negara tersebut sedang mengalami proses keruntuhan sejak sekitar 150 tahun sebelumnya dan tentaranya tersebar luas dan sekaligus lemah. Karena itu pemerintah menyerahkan tugas menumpas Wahhabi kepada Muhammad ‘Ali Basya, atau Pasya. Dia adalah panglima setengah merdeka garnisun Turki di Mesir (Mishri). Sejak abad ke-16 Turki menguasai Mesir, dengan demikian militer Mesir berada di bawah wewenang Turki.

Muhammad ‘Ali segera melantik anaknya yaitu Tursun atau Tusan sebagai panglima merebut Hijaz. Tursun bergerak pada tahun 1816.
Sementara itu, Ibnu ‘Abdul Wahhab wafat tahun 1792 dan ‘Abdul ‘Aziz menyusul tak lama menjelang penaklukan Makkah. Kepemimpinan diganti oleh anak ‘Abdul ‘Aziz yaitu Sa’ud. Setelah Sa’ud wafat pada 1814, dia diganti oleh anaknya yaitu ‘Abdullah. ‘Abdullah yang harus menghadapi serbuan pasukan Mesir.
Pasukan Tursun merebut Makkah dan Madinah nyaris bersamaan. ‘Abdullah terpaksa mundur kembali ke Najad dan Muhammad ‘Ali bertekad mengejar. Tugas mengejar pasukan Wahhabi diserahkan kepada anaknya yang lain yaitu Ibrahim. Ibrahim segera maju menuju Dar’iyyah, ibu kota gerakan Wahhabi sekaligus keluarga Sa’ud. Kaum Wahhabi menjadikan kota tersebut sebagai pertahanan akhir.

Pasukan Muhammad ‘Ali perlu waktu sekitar dua tahun untuk merebut Dir’iyyah melalui pertempuran dahsyat. Jelas pasukan Wahhabi bukan tandingan pasukan Mesir. Akhirnya, Dar’iyyah jatuh dan ‘Abdullah ditangkap pada tahun 1818. Dia dihukum mati di Istambul, anggota keluarga Sa’ud dipaksa meninggalkan negeri.
Pasukan Mesir meratakan kota Dar’iyyah dan merusak lahan pertanian di sekitarnya. Beberapa tempat yang dinilai strategis segera ditempati. Garnisun yang telah ada diperkuat.

Gerakan anti Wahhabi dihimpun oleh pemerintah Turki dan para antek termasuk ulama, mereka beramai-ramai memfitnah Wahhabi ke seantero dunia Muslim termasuk ke Indonesia. Ibnu ‘Abdul Wahhab dituduh keturunan Mussaylamah al-Kadzdzab, seorang tokoh di Najad abad ke-7 yang mengaku sebagai nabi tak lama setelah Nabi Muhammad wafat. Sikap anti keramat kubur difitnah sebagai anti ziarah, menolak praktek doa melalui perantaraan difitnah sebagai anti ulama. Dan berbagai ragam fitnah lain.
Perebutan Dar’iyyah dan penangkapan ‘Abdullah jelas merupakan pukulan berat bagi gerakan Wahhabi. Agaknya mereka harus mulai dari awal lagi dan perlu waktu lama untuk mampu tampil kembali, tetapi faham Wahhabi sempat tersebar ke luar Arabia termasuk ke Indonesia. Gerakan Paderi di Minangkabau dan Muhammadiyyah di Jawa Tengah jelas berfaham Wahhabi.

Gerakan Wahhabi dan keluarga Sa’udiy sukses meraih kuasa di sebagian besar Arabia pada 23 September 1932 dengan membentuk Kerajaan Arab Saudi.

FAHAM WAHHABI

Faham ini tampil dari rasa kepedulian Muhammad bin ‘Abdul Wahhab terhadap martabat kaum Muslim yang runtuh seiring dengan proses pembusukan peradaban Muslim. Faktornya mungkin bermacam-macam, tetapi semuanya itu dinilainya berasal dari pemahaman  dan pengamalan Islam yang dicemari oleh penyimpangan dan kebekuan berfikir. Dia saksikan masyarakat Najad mengamalkan hal-hal yang dinilai syirik dan bid’ah. Semisal memuja orang suci, berziarah ke kubur atau masjid tertentu, bahkan memuja pohon, gua dan batu, mengajukan nazar dan memberi sesaji.

Kurang teguh atau lalai beragama semisal tak peduli dengan anak yatim dan janda, berzina, lalai shalat dan gagal membagi warisan dengan adil adalah beberapa contoh lain yang dinilai perlu dibenahi. Kesemua kemunkaran tersebut dinilai sebagai perilaku jahiliyyah, tak beda dengan suasana pra Islam.
Persekutuan dua Muhammad tersebut di atas secara ampuh menampilkan kesetiaan politik menjadi atau sebagai bagian kewajiban agama. Menurut faham Wahhabi,  seorang Muslim harus melaksanakan bai’at sebagaimana tersebut di atas, sumpah akan patuh kepada pemimpin selama si pemimpin patuh pada agama. Dengan demikian diharapkan terwujud masyarakat agamis.

Ketika Ibnu ‘Abdul Wahhab pindah ke Dar’iyyah dan disambut oleh Ibnu Sa’ud, kota tersebut menjadi pusat gerakan Wahhabi termasuk kegiatan penyebaran yang lazim disebut da’wah (missionary). Tenaga da’wah disebar ke seluruh Arabia, juga Suriah (Suriyyah) dan Iraq. Mereka juga melaksanakan “perjuangan di jalan Allah” (al-jihad fiy sabilillah) melawan kaum Muslim yang dianggap murtad. Dengan semangat demikian gerakan Wahhabi memperluas wilayah dari pesisir Laut Merah hingga pesisir Teluk Persia, membangun sekolah, menempatkan guru dan aparat negara.

Sekilas faham Wahhabi mencakup antara lain:

01.  Tiada obyek lain untuk memuja melebihi Allah, mengacu konsep “tiada tuhan selain Allah”.
02.  Orang suci tidak boleh digunakan untuk mohon pertolongan Allah, tegasnya mohon langsung kepada Allah.
03.  Tidak boleh merokok.
04.  Praktek shufiy dilarang.
05.  Semua orang harus menghadiri shalat jama’ah
06.  Zakat harus dibayar dari seluruh penghasilan.
06.  Tidak boleh ada perayaan agama semisal Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj.
07.  Tidak boleh membangun kubur atau tempat suci, untuk mencegah peluang syirik.
Jika ditinjau satu per satu point-point di atas, agaknya tidak ada yang istimewa untuk dipermasalahkan. Tetapi mengingat beberapa perilaku telah berlangsung demikian lama maka muncul tantangan jika diubah, semisal tak boleh merokok, tidak boleh memilih orang sebagai perantara mohon kepada Allah, tak boleh ada perayaan agama dan tak boleh pakai tasbih.

Di Arab Saudi, Wahhabi sukses memurnikan agama tetapi harus membayar mahal. Perusakan terhadap warisan sejarah Muslim untuk mencegah syirik adalah kehilangan berat bagi dunia Muslim. Jika kita ingin menyaksikan warisan sejarah Muslim dalam bentuk masih asli umumnya bukanlah di Arab Saudi, tetapi di Suriah, Iraq, Iran, Mesir, Turki dan lain-lain.

PENUTUP
Itulah sekelumit sejarah tentang wahhabi, yang mana sebagian dari kita tidak sependapat, namun gerakan ini setidak-tidaknya memberi warna dalam pustaka sejarah islam atau mungkin menjadi spirit bagi orang islam supaya tidak terbawa arus dalam sebuah peradaban.
Saya sendiri tidak se-ideologi dengan wahhabi, karna bagi saya pribadi islam adalah islam, sebuah agama yang menurut saya tidak terpetakan, meskipun dalam faktanya memang terpetakan, bagi saya smua itu bermula dari ketidak cocockan dalam menafsiri suatu bentuk Nash, sehingga setiap mereka memberi nama sebuah sekte mereka dari apa yang mereka pikirkan. Namun untuk menambah wawasan pembaca, saya menulis sekelumit tentang sejarah terbentuknya wahhabi yang mungkin bisa di namakan dalam pustakaan kita adalah bentuk dari Renaissance dalam Islam.

0 comments:

Post a Comment