RSS
Facebook
Twitter

Sunday 3 November 2013

Belum ada judul

                                                                 belum ada judul

Ada seorang mahasiswa bercerita suatu ketika salah seorang dosen Ilmu Kalam mengajukan “pertanyaan” di hadapan para mahasiswanya, ia berkata: “Benarkah Allah maha kuasa? Jika benar, kuasakah Allah untuk menciptakan “Sesuatu” yang sama dengan Allah sendiri?”, atau “Benarkah Allah maha kuasa? Jika benar, maka mampukah Dia menciptakan sebongkah batu yang sangat besar, hingga Allah sendiri tidak sanggup untuk mengangkatnya?”, atau berkata: “Jika benar Allah maha Kuasa, maka kuasakah Dia menghilangkan Diri-Nya hanya dalam satu jam saja?”. singkat cerita akhirnya dosen maupun mahasiswanya tidak memiliki jawaban yang benar bagi pertanyaan sesat tersebut. Akhirnya, baik yang bertanya maupun yang ditanya sama-sama “bingung”, dan mereka semua tidak memiliki jalan keluar dari “bingung” tersebut.

Sebenarnya jawaban dari pertanyaan di atas adalah bahasan sangat sederhana dalam Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam; ialah bahwa hukum akal terbagi kepada tiga bagian;

Pertama; Wâjib ‘Aqly; yaitu sesuatu yang wajib adanya, artinya; akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut tidak ada, yaitu; keberadaaan Allah dengan sifat-sifat-Nya.

Kedua; Mustahîl ‘Aqly; yaitu sesuatu yang mustahil adanya, artinya akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut ada, seperti adanya sekutu bagi Allah.

Ketiga; Jâ-iz ‘Aqly atau Mumkin ‘Aqly; yaitu sesuatu yang keberadaan dan ketidakadaannya dapat diterima oleh akal, yaitu alam semesta atau segala sesuatu selain Allah.

Sifat Qudrah (kuasa) Allah hanya terkait dengan Jâ-iz atau Mumkim ‘Aqly saja. Artinya, bahwa Allah Maha Kuasa untuk menciptakan segala apapun yang secara akal dapat diterima keberadaan atau tidakadanya. Sifat Qudrah Allah tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan Mustahîl ‘Aqly. Dengan demikian tidak boleh dikatakan: “Apakah Allah kuasa untuk menciptakan sekutu bagi-Nya, atau menciptakan Allah-Allah yang lain?” Pertanyaan ini tidak boleh dijawab “Iya”, juga tidak boleh dijawab “Tidak”. Karena bila dijawab “Iya” maka berarti menetapkan adanya sekutu bagi Allah dan menetapkan keberadaan sesuatu yang mustahil adanya, dan bila dijawab “Tidak” maka berarti menetapkan kelemahan bagi Allah. Jawaban yang benar adalah bahwa sifat Qudrah Allah tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan tidak terkait dengan Mustahîl ‘Aqly.

ada cerita lain, seorang mahasiswa yang mengaku sangat menyukai filasafat. Setelah ngobrol “basa-basi” dengannya, tiba-tiba pembicaraan masuk dalam masalah teologi; secara khusus membahas tentang kehidupan akhirat. Dan ternyata dalam “otak” mahasiswa tersebut, yang kemudian dengan sangat “ngotot” ia pertahankan ialah bahwa kehidupan akhirat pada akhirnya akan “punah”, dan segala sesuatu baik mereka yang ada di surga maupun yang ada di neraka akan kembali kepada Allah. “Mahasiswa” ini beralasan karena jika surga dan neraka serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya kekal maka berarti ada tiga yang kekal, yaitu; Allah, surga, dan neraka. Dan jika demikian maka menjadi batal-lah definisi tauhid, karena dengan begitu berarti menetapkan sifat ketuhanan kepada selain Allah; dalam hal ini sifat kekal (al-Baqâ’).

jawaban dari pertanyaan di atas adalah, sifat Baqâ’ Allah disebut dengan Baqâ’ Dzâty; artinya bahwa Allah maha Kekal tanpa ada yang ada yang mengekalkan-Nya. Berbeda dengan kekalnya surga dan neraka; keduanya kekal karena dikekalkan oleh Allah (Bi Ibqâ-illâh Lahumâ). Benar, secara logika seandainya surga dan neraka punah dapat diterima, karena keduanya makhluk Allah; memiliki permulaan, akan tetapi oleh karena Allah menghendaki keduanya untuk menjadi kekal, maka keduanya tidak akan pernah punah selamanya. Dengan demikian jelas sangat berbeda antara Baqâ’ Allah dengan Baqâ’-nya surga dan neraka. Kemudian, dalam hampir lebih dari enam puluh ayat al-Qur’an, baik yang secara jelas (Sharîh) maupun tersirat, Allah mengatakan bahwa surga dan neraka serta seluruh apa yang ada di dalam keduanya kekal tanpa penghabisan. Dan oleh karenanya telah menjadi konsensus (Ijmâ’) semua ulama dalam menetapkan bahwa surga dan neraka ini kekal selamanya tanpa penghabisan, sebagaimana dikutip oleh Ibn Hazm dalam Marâtib al-Ijmâ’, Imam al-Hâfizh Taqiyyuddin as-Subki dalam al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr, dan oleh para ulama terkemuka lainnya.

akhir kata, smoga catatan kecil ini bisa menambah wawasan pembaca,

0 comments:

Post a Comment