RSS
Facebook
Twitter

Friday 1 November 2013

Kepala Sama Berbulu, Pendapat Berlain-lain

Pepatah di atas sudah sangat terkenal dalam bahasa kita, karena demikian banyak ia dilakukan dalam praktek kehidupan. Maksudnya adalah, kita sama-sama mempunyai rambut, tetapi pemikiran tetap berbeda. Jadi dalam ajaran Islam, satu ke lain orangpun terdapat pluralitas/kemajemukan pendapat, ini diterima sebagai prinsip pengaturan hidup bermasyarakat: “perbedaan para pemimpin adalah rahmatan bagi umat” (ikhtailaf Al-a-imah rahmat al-ummah). Prinsip ini sangat dipegang teguh dalam kehidupan kaum muslimin, sehingga kita lihat perbedaan pandangan sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja karenanya.

Kejadian itu menunjukan sesuatu yang sangat menarik, yaitu bahwa Habib Rizieq masih menggangap kepolisian sebagai penyelenggara keamanan dalam negeri dan pemeriksaan hukum yang memiliki wewenang memeriksa dirinya. Ini berarti, ia masih mengakui sistem hukum yang berlaku di negeri kita, dengan demikian ia mengakui wujud negara yang ada, yang oleh sementara kalangan disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, apapun yang ia lakukan, masih dalam kerangka yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, ia tidak menyimpang dari pengakuan akan adanya negara, berarti juga kepada sistem hukumnya. Berarti, ia tetap berada dalam kerangka legal yang ada, dan dilindungi oleh kerangka tersebut. Dengan demikian, Habib Rizieq melindungi dirinya secara legal, betapa jauhnya sekalipun pandangan yang dianutnya dari pandangan lembaga kenegaraan dan lembaga hukum yang ada. Dengan demikian, ia menjaga wujudnya dirinya dari tindakan apapun yang tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Dengan kata lain, boleh jadi ia melanggar hukum, tetapi justru hukum itulah yang melindunginya dari tindakan apapun oleh negara atas dirinya, secara teoritis ia terlindung dari tindakan yang tidak berdasarkan hukum, siapapun yang melakukannya. Dengan kata lain, ia memiliki hak asasinya sebagai manusia, yang sekaligus diperolehnya dari kedudukan sebagai warga negara sebuah bangsa yang berdaulat. Prinsip inilah yang paling penting untuk dipegang oleh seseorang dalam negara ini, yang katanya memiliki kedaulatan hukum. Pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar-lah yang memberikan perlindungan hukum tersebut, yang membedakannya dari subyek politik. Sebagai seorang penduduk biasa, Habib Rizieq memperoleh perlindungan politik dari tindakan apapun, namun justru secara politik pula ia sering menganggu hak-hak warga negara yang lain, seperti ketika ia memerintahkan sweeping. Tindakan untuk mengatasi hal itu adalah tindakan hukum, yang secara teoritis dapat dikenakan atas dirinya. Namun, ia juga memperoleh perlindungan hukum, untuk tidak terkena tindakan hukum lebih jauh dari itu. Prinsip inilah yang sekaligus mengekang langkah-langkahnya, agar tidak melanggar hukum dan merugikan orang lain. Namun, perlindungan hukum itu juga mencegahnya dari tindakan politik yang tentu merugikan dirinya, dengan kata lain ia masih bergerak dalam koridor hukum yang berlaku di negeri ini.

Lain halnya dengan Abu Bakar Ba’asyir, yang “menolak”' memberikan keterangan kepada pihak kepolisian terlepas dari kenyataan, pihak kepolisian “mengambilnya” dari RS. PKU Muhammadiyah di Solo dengan cara yang profesional salah dan memenuhi ketentuan hukum. Namun, penolakannya untuk memberikan keterangan hukum, menempatkan tokoh ini dalam kedudukan yang tidak sama dengan Habib Rizieq. Ini tentu akan membawakan konsekuensi-konsekuensinya sendiri. Dengan demikian menjadi nyata, dua orang yang dalam status hukum berkedudukan sama, ternyata dapat mengalami perlakuan yang sangat berbeda satu dari yang lain. Benarlah kata pepatah di atas, kepala orang sama-sama berbulu artinya sama-sama memiliki rambut, dapat berbeda. Dengan menolak memberikan keterangan hukum, untuk kepentingan pembuatan Berita Acara Polisi (BAP), Abu Bakar Ba’asyir menempatkan diri di luar wewenang hukum. Dengan demikian, ia menjadi orang yang tidak menganggap negara dan hukum memiliki wujud/eksistensi, dan sudah tentu juga ia tidak bersikap terus demikian, maka negara harus menghindarkan adanya dua buah eksistensi yang berlainan: wujud negara di satu sisi, dan keadilan tokoh tersebut. Di sisi lain, negara memiliki hak hukum untuk menganggapnya sebagai pemberontak yang melanggar Undang-Undang Dasar, dan dengan demikian dapat memilih salah satu dari dua alternatif berikut: mengusir/ menghukum mati tokoh tersebut. Ini adalah konsekuensi logis dan legal dari tindakan yang dilakukannya sendiri dan Islam-pun dapat membenarkan hal tersebut. Ketegasan pihak pemerintah diperlukan, dalam hal ini untuk mencegah anarkhi hukum. Ini juga pernah terjadi di masa pemerintahan Bung Karno dan Panglima Besar Soedirman sebagai panglima angkatan perangnya, memerintahkan Sekarmadji Kartosuwiryo untuk mendirikan DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat. Dasar perintah itu adalah ketentuan perjanjian Renville, bahwa TNI harus ditarik dari kawasan tersebut ke Jawa Tengah. Untuk menghindarkan vacuum di kawasan itu, yang akan dimanfaatkan oleh pasukan-pasukan Belanda, maka dibentuklah DI/TII, sudah tentu perintah itu diketahui oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara. Namun, Sekarmadji Kartosuwiryo terus menggunakan DI/TII membunuh rakyat, melakukan pembakaran dan merampok setelah kemerdekaan tercapai dan pengerahan kedaulatan berlangsung. Ini berarti pemberontakan, dan pemerintah menumpas pemberontakan itu yang berakhir tahun 1962. Di saat itu, Presiden Soekarno yang juga menjadi kepala pemerintahan, memerintahkan Sekarmadji Kartosuwiryo diadili oleh Mahkamah Militer yang kemudian menjatuhkan hukuman mati, atas diri tokoh teman dekat Bung Karno itu. Bung Karno tidak memberikan grasi/pengampunan kepadanya, karena ia telah memerintahkan pembunuhan rakyat dan perampokan. Bung Karno bahkan memerintahkan pelaksanaan hukum mati atas diri tokoh itu, dan menghilangkan jejak penguburannya di Kepulauan Seribu. Persoalannya tidak rumit kalau kita memiliki keberanian, bukan?

Jakarta, 12 November 2002


0 comments:

Post a Comment