RSS
Facebook
Twitter

Thursday 31 October 2013

Mencari Tuhan Lewat Sains


Mencari Tuhan Lewat Sains

Suatu hari, Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, “Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”.
Lalu Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya”.
“Tuhan menciptakan semuanya?” Tanya professor sekali lagi.
“Ya, Pak, semuanya” kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, “Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.
Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”.
“Tentu saja,” jawab si Profesor,
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?
“Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?” Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.”
Mahasiswa itu melanjutkan, “Profesor, apakah gelap itu ada?”
Profesor itu menjawab, “Tentu saja itu ada.”
Mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi anda salah Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, “Profesor, apakah kejahatan itu ada?”
Dengan bimbang professor itu menjawab, “Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan.”
Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi Anda Salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih sayang Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya.”Profesor itu pun terdiam.

Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.

Teror = JIHAD ???


Teror = JIHAD ???

Kita hanya bisa mengelus dada saat kita mendengar ada teor di mana mana yang mana terror itu di bungkus dengan rapi dan akhirnya di beri nama JIHAD. Bagaimanakah jihad itu? Apa benar fenomena yang melanda di setiap Negara juga di kategorikan jihad yang dapat payung dari ajaran agama islam?

Kita gak tau bagaiman pola pikir atau psikologi mereka yang melakukan bom bunuh diri dan mengebom di daerah tertentu, kami  hanya bisa berspekulasi tentang motif mereka, mungkin di latar belakangi dengan ketidak siapan mereka saat melihat lingkungan sekitar mereka yang tidak islami atau benar benar ingin manjalankan apa isi yang al quran yang mereka pahami. Lantas apa tindakan mereka di katakan jihad? Sekelumit kami akan mendudukkan masalah yang sebenarnya tentang jihad yang belakangan ini menjadi isu yang paling menghipnotis media.

Setiap kita pernah mendengar ada hadis yang berbunyi:

عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ[رواه مسلم]

Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim)
Atau surat At-Taubah: 29:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (At-Taubah: 29)

Hadist atau ayat al quran di atas secara jelas menjelaskan tentang arti penting jihad, dalam arti jika setiap kita melihat kemungkaran di sekitar kita atau orang orang yang tidak mau melakukan hukum Allah maka jihad di legalkan dalam agama. Dan banyak lagi al quran dan juga hadis yang mengupas tentang jihad atau merupakan konteks yang memberi kesemangatan tentang jihad.

Kami akan sedikit menulas balaik tentang arti jihad yang benar dalam ajaran agama islam.

Penjalasan teks

Kata jahada–yajhadu-al juhdu wa al jahdu    جهد-يجهد-الجهد-الحهد) )  mempunyai lebih dari 20 makna, semuanya berkisar pada makna kemampuan (الطاقة  ) , kesulitan (المشقة ) , keluasan  (الوسع)  (kemampuan dan kesempatan), (القتال) perang dan ( (المبالغة  bersungguh-sungguh. Karena itu para ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih dan ahli bahasa selalu mengartikan jihad secara bahasa dengan makna mencurahkan segenap kemampuan atau (bersungguh-sungguh menundukkan) kesulitan.

Akan tetapi jika kata jihad diungkapkan secara mutlak (secara lepas) maka artinya adalah perang melawan orang-orang kafir untuk menegakkan kalimatulloh sebagai mana diatas. Hal ini sejalan dengan pendapat oleh Imam Ibnu Hajar berkata," Secara syar'i adalah mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir, dan kadang-kadang digunakan untuk makna berjihad melawan hawa nafsu dan setan." [Fathu al Bari 6/5].

Mungkin dari sini bisa di tarik benang merah bahwa jihad adalah perang melawan melawan orang orang kafir di mana kode etik perang harus berkonfrontasi dengan orang kafir, jika tidak maka tidak di namakan jihad atau perang tapi di namakan membunuh orang kafir. Sekali lagi jihad bukan membunuh tapi perang melawan orang kafir yang meskipun adanya perang meniscayakan membunuh orang kafir. Kalau kurang percaya pembaca bisa bertanya pada pakar bahasa atau lihat di kamus dll.

Namun jika melihat fenomena akhir akhir ini sangat sulit sekali jika pengeboman dan aksi bunuh diri merupakan jihad, apalagi kita sekarang sudah mengenal HAM, polisi, hukum dll. Saya yakin jika kelak kita menghadap Tuhan di akhirat, Allah akan menyalahkan tindakan tindakan yang sangat juah sekali dalam ajaran agama manapun.

Kita tidak menutup mata hegemoni barat sudah terlalu menggurita dalam hal apapun termasuk agama sekalipun, dan saya juga kadang kadang bingung bagaimana jika kita hidup di Taliban, afganistan atau di negara yang saat ini sedang mengalami konflik yang belum berujung yang notabenya di bawah serangan Israel, mungkin mereka mereka yang mengangkat senjata benar benar di namakan jihad menurut ajaran nabi yang sesuai dengan al quran dan as sunah, tapi jika melihat fenomena di Negara kita, apakah bisa di namakan dengan jihad sesuai ajaran nabi? Saya rasa jawabanya tidak bisa di katakan jihad, karena orang kafir tidak menggangkat atau menyerukan untuk berperang, karena untuk mendapat pengakuan jihad yang sesuai ajaran islam harus berhadap hadapan dengan orang kafir secara fisik.

Kita semua tahu bahwa orang orang kafir tau tau telah mnyelinap dalam tubuh islam melalui aqidah, sekularisme, gaya hidup, pola pikir dll, dan setiap kita pasti tidak setuju dengan hal itu, hemat kami dalam menyikapi hal ini adalah bagaimana kita memenaj pendidikan kita agar supaya masarakat kita tidak masuk dalam teori teori mereka, dalam arti kita gak usah melakukan teror di mana hanya untuk mengintimidasi orang kafir yang ending endingnya menjadi bumerang bagi islam sendiri.

Selama ini kita mendengar bahwa yang melakukan terror adalah islam, pondok ngruki solo, abu bakar baasyir, imama samudra dll sangatlah kental dengan sebutan sebutan islam extrimis, tapi entahlah benar orang islam atau tidak, yang jelas PR kita sangat banyak sekali dalam kehidupan ini.antara lain mari kita bersama melawan hegemoni barat dengan cara menguatkan iman sehingga kita tidak ikut ikutan dalam teori semu mereka.

Jadi menurut hemat kami tindakan tindakan selama ini yang membuahkan teror di mana amana tidak dapat di katakan jihad, karena tidak sesuai denga pesan pesan yang di ajarkan oleh  nabi muhammad, dalam arti selama ini ayat atau hadist yang sedikit banyak mengupas tentang adanya konsp jihad di peras dan di tahrif( baca: di rubah) menjadi ayat yang melegalkan adanya teror, sehiga berawal dari hal ini islam di tuduh sebagai agama pedang, kekerasan dll, yanga akhirnya saudara kita muslim yang berada di negara yang penduduknya mayoritas tidak islam akan di curigai dan di marjinalakan.

Kesimpulanya sekali lagi teror bukan dari bagian dari jihad.

Tuesday 29 October 2013

Menjami’kan Hisab Rukyah

                                                   Menjami’kan Hisab Rukyah

Ketika bulan Ramadhan menjelang, Pertanyaan yang seringkali mengemuka adalah “Mengapa terjadi perbedaan penentuan ramadhan dan hari raya? Bukankah dalam menentukan awal bulan Hijriyah/Qomariyah acuannya adalah bulan (Hilal)? Bukankah bulan (Hilal) nya hanya satu?” Misalnya, bila di Jakarta  tanggal 1 Syawal, maka logikanya di seluruh Indonesiapun juga tanggal 1 Syawal. Tapi, mengapa selama ini sering terjadi di satu tempat (desa, kota) yang sama di Indonesia kok terjadi perbedaan tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawal?  mengapa hal itu bisa terjadi?

Jawaban yang mungkin mengarah pada kebenaran adalah, karena hal ini di latar belakangi adanya suatu perbedaan dalam cara menghitung penanggalan. Tepatnya, yang satu menggunakan cara ru’yah, yang lain memakai cara hisab.

Timbul pertanyaan lagi, kenapa tidak memilih salah satu? Dan mungkin ada yang mengatakan “gini ari kok masih pake ru’yah? Kuno amat, orang gerhana aja bisa diramal sampe ke detiknya, pake ilmu hisab”

Pertanyaan di atas mungkin di latar belakangi adanya salah paham, atau mungkin tindakan kegabah, dalam arti pertanyaan itu mewakili anggapan bahwa ru’yah dan hisab adalah dua hal yang terpisah dan berbeda, bahkan sagat dikotomis. Padahal, keduanya adalah cara yang diajarkan Rasulullah.

Dan sadar atau tidak , kita selama ini terjerembab dalam kebodohan yang sangat riel, hal ini terbukti saat kita mendengar ungkapan hisab, kita langsung mengklaim dia adalah golongan muhammadiyah, sementara saat kita mendengar ru’yah kita langsung menganggap mereka adalah golongan dari NU, lantas pertanyaan selanjutnya yang musti kita renungkan bersama sama, kita bagian dari mana ya? NU apa muhammadiyah? apakah kita pernah me-ru’yah? atau kalau tidak kita pernah mau hisab? Benarkah adanya hisab di miliki oleh muhammadiyah sementara rukyah di miliki oleh NU? Pertanyaan yang mungkin sepele tapi saat langsung di ajukan ke-kita, kebanyakan kita akan bingung untuk menjawabnya, karena ngaku atau tidak selama ini kita adalah orang yang bodoh yang selalu menanti apa saja yang telah di putusan olah atasan, kita tidak pernah mau belajar tentang ilmu ru’yah atau lebih lebih hisab.

Kajian kita kali ini mencoba “menikahkan” antara ru’yah dengan hisab yang oleh banyak orang selama ini di anggap sesuatu yang bertentangan.

HILAL

Dalam bahasa arab yang di maksud dengan Hilal adalah Awal Bulan hijriyah. Bulan mengitari Bumi memiliki fase tersendiri dalam setiap putarannya selama 29-30 hari/bulan. Setiap fase memiliki tanda atau bentuk tersendiri, seperti bulan sabit, setengah purnama, purnama, bulan mati, dan sebagainya. Hilal termasuk suatu fase awal bulan yang dapat dilihat oleh seseorang, secara singkatnya hilal adalah bulan sabit. Perlu di ingat, hilal ada pada setiap bulan, jadi istilah hilal tidak hanya dipakai ketika bulan Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah saja, tetapi untuk semua bulan hijriyah.
Cara menentukan Hilal :

 Ada beberapa cara dalam menentukan Hilal, berikut ini beberapa caranya :

1.    Ru-yah
Ru-yah biasa dilakukan pada hari ke 29 (yaitu pada sore harinya menjelang/setelah maghrib) suatu bulan Hijriyah. Ingat hal ini tidak terlepas dari yang namanya hisab, karena di lakukan pada hari ke 29.

2.    Ikmal
Jika Hilal tidak terlihat pada proses ru-yah, maka bulan hijriyah tersebut disempurnakan/digenapkan menjadi 30 hari.

3.    Hisab
Ahli hisab membuat suatu metode perhitungan sehingga terbuatlah suatu jadwal/kalender Hijriyah dalam setiap bulan/tahunnya, dan bahakn biasa meraba tanggal tanggal yang akn terjadi di bulan dan tahun kemudian.

Perlu di ketahui antara Ru-yah dan Ikmal merupakan istilah yang berhubungan, karena jika ru-yah tidak dapat dilakukan maka ikmal 30 hari akan dilakukan. Dengan alasan itu maka wajar saja jika seolah-olah hanya ada dua cara menentukan Hilal, yaitu ru-yah dan hisab.
Ru-yah

Pada zaman Rasulullah, orang-orang ( Baca : para shahabat) berusaha bersama-sama untuk melihat Hilal, sebagaimana yang pernah diceritakan oleh Ibnu Umar ketika dia dan para shahabat Rasulullah lainnya berusaha untuk melihat Hilal Ramadhan :

Ibnu Umar berkata, “Orang-orang berusaha melihat Hilal, maka aku mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam bahwa aku telah melihatnya. lalu beliau menjalankan puasa, dan memerintahkan orang-orang untuk melakukan puasa juga.”( Hadits Riwayat Abu Dawud nomor : 1995 )

Berdasarkan hadist tersebut, umat Islam sebaiknya dapat lebih memperhatikan tentang ru'yah Hilal ini sehingga sebagian kaum Muslimin dapat meluangkan waktunya untuk berusaha melihat Hilal pada akhir bulan, terutama pada 3 bulan penting. Walaupun pada zaman sekarang ini perkembangan hisab, terutama hisab astronomi, sudah sangat maju, tradisi para shahabat dalam berusaha melihat Hilal pada akhir bulan tetap dapat dipraktekkan dan dibiasakan kembali pada zaman ini, entah dipraktekkan oleh pengguna ru'yah murni maupun dipraktekkan oleh pengguna ru'yah dengan memakai bantuan hisab (ru'yah bil ilmil hisab).

Dari sisi penerapan ru'yah Hilal, ru'yah dibagi menjadi dua bagian :

1. Ru'yah murni

Orang yang memakai ru'yah murni ini sama sekali tidak memakai hisab untuk melihat Hilal. Jika suatu Hilal dapat terlihat menurut pengguna ru'yah murni sedangkan menurut pengguna hisab astronomi Hilal tidak mungkin dapat terlihat, maka pengguna ru'yah murni akan tetap menyatakan Hilal telah terlihat dan menolak pernyataan pengguna hisab astronomi. Di antara alasan mereka adalah : ru'yah Hilal adalah sunnah, ru'yah Hilal adalah ibadah, bahkan ada sebagian dari mereka yang sampai berpendapat bahwa hisab adalah bid`ah sehingga sangat alergi dan benci dengan penggunaan hisab, terutama hisab untuk penentuan Hilal.

2. Ru'yah dengan memakai bantuan hisab (ru'yah bil ilmil hisab).

Orang yang memakai penerapan ini tetap berpendapat bahwa ru'yah Hilal adalah cara terbaik dalam menentukan Hilal, tetapi mereka tidak menolak penggunaan hisab, mereka tetap memakai hisab sebagai alat bantu / panduan dalam menentukan Hilal. Hasil hisab dalam penentuan Hilal dibuktikan kebenarannya dengan ru'yah Hilal dalam praktek. Hasil ru'yah dalam praktek dibuktikan kebenarannya dengan hisab astronomi. Jika dalam praktek ru'yah Hilal suatu bulan Qamariyah dapat terlihat oleh pengamat Hilal tapi menurut ahli hisab astronomi bahwa itu tidak mungkin Hilal (Hilal tidak mungkin terlihat pada saat itu) berdasarkan kriteria hisab yang dipakai, maka kesaksian pengamat Hilal tersebut dapat ditolak dan tidak dipakai.

Sekedar sebagai wacana, penentuan Hilal melalui ru-yah sendiri memiliki beberapa perbedaan pendapat :

1.    Satu ru-yah untuk semua negeri.
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat Hilal melalui ru-yah dengan terpercaya dan terbukti, maka negeri lain wajib mengikutinya walaupun negeri tersebut tidak melihat Hilal di negerinya sendiri. Ini pendapat imam hanafi.
Contoh : Jika indonesia telah menyatakan telah melihat hilal, negara-negara lain di seluruh dunia yang belum melihat hilal harus mengikuti hasil ru-yah indonesia pula.
Pendapat satu ru-yah untuk semua negeri ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Sayyid Sabiq rahimahullah dalam Fiqhu as-Sunnah (Juz 1) :
فمتى رأى الهلال أهل بلد، وجب الصوم على جميع البلاد لقول الرسول صلى الله عليه وسلم 
” صوموا لرؤيته، وافطروا لرؤيته
وهو خطاب عام لجميع الامة فمن رآه منهم في أي مكان كان ذلك رؤية لهم جميعا.
Pendapat Jumhur : Tidak ada perbedaan mathla (tempat muncul hilal), maka penduduk negeri apa saja yang telah melihat hilal, maka seluruh negeri wajib shaum sebagaimana hadits Rasulullah, “Shaumlah kalian karena melihat hilal (awal Ramadhan), dan berbukalah kalian karena melihat hilal (awal Syawwal)”.
 Ucapan tersebut adalah umum untuk semua umat, maka barangsiapa di antara mereka yang telah melihat hilal di tempat mana saja, maka itu adalah ru-yah bagi mereka semua (Fiqhu as-Sunnah Juz 1).

2.    Satu ru-yah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan.
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat Hilal melalui ru-yah dengan terpercaya dan terbukti, maka negeri yang berdekatan wajib mengikutinya walaupun negeri tersebut tidak melihat Hilal di negerinya sendiri.
Contoh : Jika Indonesia telah menyatakan telah melihat hilal, maka negara-negara tetangga Indonesia ( seperti Malaysia, Brunei, Thailand dll) yang belum melihat hilal harus mengikuti hasil ru-yah Indonesia.
Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah.

3.    Setiap negeri memiliki ru-yah masing-masing.
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat Hilal melalui ru-yah dengan terpercaya dan terbukti, maka negeri lain tidak wajib mengikutinya jika mereka tidak melihat Hilal di negerinya sendiri.

Contoh : Jika indonesia telah menyatakan telah melihat hilal, negara-negara lain di seluruh dunia yang belum melihat hilal maka tidak harus mengikuti hasil ru-yah indonesia, melainkan mengandalkan hasil ru-yah di negerinya sendiri.
Ini adalah pendapat Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim, Ishaq rahimahumullah, dan pendapat yang dipilih oleh sebagian ulama Syafi’iyyah.
Sedangkan pendapat setiap negeri memiliki ru-yah masing-masing memiliki tambahan dalil dari hadits Kuraib / Ibnu Abbas :
Kuraib berkata : Aku tiba di Syam, lalu diumumkan tentang hilal Ramadhan ketika aku masih di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Lalu aku tiba di Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), lalu Ibnu Abbas menanyakanku –lalu ia menyebut hilal–. Ibnu Abbas bertanya, “Kapan mereka melihat hilal?” Aku menjawab, “Kami melihat hilal pada malam Jum’at.” Ibnu Abbas bertanya, “Kamu melihat hilal?” Aku menjawab, “Ya, dan orang-orang melihat hilal, lalu mereka puasa, dan Mu’awiyah juga puasa.” Ibnu Abbas berkata, “Tapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami tidak berhenti puasa hingga kami menyempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal.” Aku bertanya, “Apakah tidak cukup bagimu ru-yah Mu’awiyah dan puasanya?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, begitulah Rasulullah telah memerintahkan (kami).”

Lantas pendapat mana yang benar? apakah pendapat pertama (satu ru-yah untuk semua negeri), pendapat kedua (satu ru-yah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan), atau pendapat ketiga (setiap negeri memiliki ru-yah masing-masing)?

Baiklah kita uji bersama sama, dengan harapan kita tidak menjadi orang yang selalu bingung dalam menanggapai suatu masalah khilafiyah.
Menurut penulis, pendapat yang paling kuat / mendekati kebenaran adalah pendapat yang pertama, pendapat yang paling ideal, dan juga merupakan pendapat mayoritas ulama. Dengan alasan : Kata “kalian” pada hadits ru-yah berlaku umum untuk semua orang Islam. Jika ada yang melihat Hilal, jujur, terpercaya, maka persaksian itu bisa diterima.

Sebagian kalangan meyakini bahwa pendapat ketiga (setiap negeri memiliki ru-yah masing-masing) adalah pendapat yang lebih kuat dengan dalil hadits Kuraib yang sudah disebut sebelumnya dan menyatakan bahwa jika pendapat pertama (satu ru-yah untuk semua negeri) lebih kuat, maka hadits umum tentang ru-yah itu bertentangan/bentrok dengan hadits Kuraib.

Jika direnungkan lagi, sebenarnya hadits Kuraib tidak bertentangan dengan hadits umum tentang ru-yah. Beberapa alasannya adalah :
1.     Tidak, begitulah Rasulullah telah memerintahkan (kami) Perkataan Ibnu Abbas ini bisa ditafsirkan dalam beberapa penafsiran, apakah maksudnya adalah :           
(A) Rasulullah memerintahkan ru’yah hilal Ramadhan berlaku di masing-masing negeri atau mungkin- (B)  Rasulullah memerintahkan jika berita hilal Ramadhan dari negeri lain sampai dengan telat pada saat negeri itu sedang puasa beberapa pekan, maka penduduk negeri itu sebaiknya melanjutkan shaum mereka.
Pendapat B mungkin lebih baik, dari pada A sehingga hadits Kuraib ini tidak bentrok dengan hadits hilal secara umum. Seandainya berita hilal Ramadhan di Syam bisa tiba tepat waktu di Madinah, maka belum tentu Ibnu Abbas akan berkata seperti itu dan Ibnu Abbas sangat mungkin akan mengikuti kesaksian orang-orang yang telah menyatakan melihat hilal Ramadhan di negeri lain.
2.    Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja menerima persaksian orang-orang yang melihat hilal tanpa menanyakan di mana mereka melihat hilal :
راءى الناس الهلال، فأخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم أني رأيته، فصام، وأمر الناس بصيامه.
Dari Ibnu Umar Radiyallaahu Anhu : Orang-orang melihat hilal (Ramadhan), lalu berita ru’yah itu disampaikan kepada Rasulullah, maka beliau shaum dan memerintahkan orang-orang untuk shaum.

Hisab

Dalam surat ar-Rahman ayat 5 ditegaskan bahwa matahari dan Bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung. Ayat ini tidak sekedar memberi informasi, tetapi juga mengandung dorongan untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan Bulan. Kemudian ayat 5 dari surat Yunus menegaskan bahwa kegunaan perhitungan gerak matahari dan Bulan itu antara lain adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Atas dasar inilah sebagian ulama’ untuk mengetahui adanya hilal, menggunakan metode hisab. Syaikh Syaraf al-Qudah dari Yordania menegaskan, “Pada dasarnya perhitungan bulan kamariah itu adalah dengan menggunakan hisab.”
Pertanyaan yang mungkin terbersit di benak pembaca, Kalau memang semangat al-Quran adalah hisab, lalu mengapa Nabi saw sendiri menggunakan dan memerintahkan melakukan rukyat? Menurut Muhammad Rasyid Rida dan Mustafa az-Zarqa’, perintah melakukan rukyat itu adalah perintah ber-illat, maksudnya perintah yang disertai illat (kausa hukum). Menurut kaidah fikhiah, hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Apabila ada ilatnya, maka hukum diberlakukan dan apabila tidak ada ilatnya, maka hukum tidak berlaku. Ilat perintah rukyat adalah keadaan umat yang ummi (tidak kenal baca tulis dan hisab) pada zaman Nabi saw. Ini ditegaskan dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda, “Kami adalah umat yang ummi. Kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian. Maksud beliau terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.” Ini artinya _ masih menurut Muhammad Rasyid Rida dan Mustafa az-Zarqa’_ bahwa setelah keadaan ummi itu hilang dan umat Islam telah menguasai baca tulis dan pengetahuan hisab, maka rukyat tidak digunakan lagi dan kembali kepada prinsip pokok, yaitu hisab.
Menurut Yusuf al-Qaradawi, rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana untuk mengetahui masuknya bulan baru. Sebagai sarana, rukyat merupakan sarana yang lemah dan tidak begitu akurat. Hisab yang menggunakan kaidah-kaidah astronomi lebih memberikan kepastian dan akurasi tinggi, serta terhindar dari kemungkinan keliru dan kedustaan. Oleh karena itu, menurut Yusuf al-Qaradawi, apabila kita telah memiliki sarana yang lebih pasti dan akurat, maka mengapa kita harus jumud bertahan dengan suatu sarana yang tidak menjadi tujuan pada dirinya. Ahmad Muhammad Syakir, ahli hadis abad ke-20 dari Mesir yang menurut al-Qaradawi merupakan seorang salafi murni, menegaskan bahwa wajib menggunakan hisab untuk menentukan bulan kamariah dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Dan di akui atau tidak, bahwa dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Menurut Prof. Dr. Idris Ibn Sari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, ketiadaan kalender Islam terpadu hingga hari ini disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada faham rukyat sehingga tidak dapat membuat suatu sistem penanggalan yang akurat dan kuat. Haruslah diakui bahwa rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan, karena Hilal baru bisa diketahui dengan metode rukyat pada hari ke-1.
Lagi pula sadar atau tidak, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda memulai awal bulan kamariah termasuk bulan-bulan ibadah. Hal itu adalah karena rukyat terbatas jangkauannya. Rukyat pada visibilitas pertama tidak dapat mengkaver seluruh muka bumi, sehingga pada hari yang sama ada muka bumi yang telah merukyat dan ada muka bumi yang belum dapat merukyat. Akibatnya adalah bahwa yang telah berhasil merukyat akan memulai bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, dan bagian muka bumi yang belum dapat merukyat akan menggenapkan bulan berjalan dan memulai bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan memulai tanggal.

Sekedar melihat fakta, bagi sementara orang, aplikasi hisab dianggap bertentangan dengan sunnah Rasul dan buru-buru menisbatkannya pada perbuatan bid’ah dan pelakunya merupakan orang yang sesat.

Argumentasi mereka adalah sebagai berikut :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)[Maksudnya, dulu kitabah (tulis-menulis) amatlah jarang ditemukan. (Lihat Fathul Bari, 4/127)] dan tidak pula mengenal hisab[Yang dimaksud hisab di sini adalah hisab dalam ilmu nujum (perbintangan) dan ilmu tas-yir (astronomi). (Lihat Fathul Bari, 4/127)]. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.]
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[ HR. An Nasai no. 2116.
Berdasar harfiah hadis diatas maka bagi orang-orang yang jumud ini maka kalau Nabi sudah bersabda jika tertutup awan saja kita disuruh menggenapinya menjadi 30, bukan dihitung, perlu di mengerti, pernyataan ini agaknya memeng sangat kritis, tapi pernyataaan ini juga ini berarti menafikan ungkapan sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari. Yang mana ungkapan ini tidak terlepas adanya ilmu hisab.

Hadis diatas bisa kita lihat sebagai sebuah pengakuan yang jujur dari pribadi Nabi Muhammad Saw mengenai status peradaban umatnya saat itu. Dimana mereka disebutkan tidak pandai dalam hal ilmu pengetahuan (termasuk baca, tulis dan menghitung). Jadi, jika ternyata umat beliau sekarang ini sudah lebih pandai dalam hal tersebut ketimbang umat dimasa lalu, maka kepandaian ini - hemat kami - musti dipergunakan dalam kerangka menetapkan apa-apa yang sebelumnya sering menjadi keraguan akibat keterbatasan yang ada. Hadis tersebut menjadi parameter lain untuk kita bila Nabi Muhammad Saw secara tidak langsung mengakui adanya metode lain diluar dari apa yang biasa beliau dan umatnya gunakan untuk penentuan bulan baru. Memang tidak menutup kemungkinan bahwa dimasa Nabi Saw hidup, ada orang-orang tertentu yang bisa melakukan proses penghitungan bulan atau merukyat bil’ilmi, akan tetapi karena cara dan bentuk kepastian dari metode ini belum bisa disebut akurat akibat keterbatasan kondisi peradaban dimasa itu maka Nabi Saw belum menggunakan metode seperti ini.

Agar tidak rancau untuk menjami’kan antara ru’yah dan hisab, kami buatkan sebuah fakta yang slama ini tidak di sadari oleh banyak orang. Misalnya ketika penentuan awal bulan Dzulhijjah, banyak negara-negara yang mengikuti hasil ru-yah Arab Saudi. Namun saat penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal, masing-masing negara kukuh berpendapat dengan hasil ru-yah di negerinya masing-masing, tetapi ketika penentuan awal bulan Dzulhijjah banyak negeri Muslim yang mengikuti hasil ru-yah Arab Saudi. Aneh, kan?

Contoh lagi mengenai jadwal shalat 5 waktu untuk seluruh dunia, jadwal tersebut dibuat dengan hisab dan dipakai oleh mayoritas Muslim di dunia, termasuk di Indonesia. Jadwal shalat pada awalnya diketahui dengan cara melihat perubahan posisi matahari (dengan kata lain ru-yah Syamsu/Melihat matahari), tetapi dengan adanya ilmu hisab, jadwal shalat bisa dibuat untuk seluruh tempat di dunia. Kenapa hisab jadwal shalat bisa digunakan di seluruh dunia? Karena perhitungannya hasil hisab  sama (atau setidaknya hanya selisih sedikit saja beberapa menit) dengan hasil melihat langsung posisi matahari untuk menentukan waktu shalat. Pertanyaan untuk anda, apakah anda saat mau sholat duhur, ashar dll, anda keluar untuk ru’yah?

Jadwal shalat 5 waktu yang diterima di seluruh dunia itu dibuat dengan hisab, anehnya ketika ahli hisab membuat hisab untuk kalender hijriyah, termasuk penentuan Hilal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah, banyak negeri Muslim yang menolaknya, tetapi mereka memakai hisab (menggunakan kalender Hijriyah) untuk bulan-bulan Hijriyah selain Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Anehnya lagi mereka memakai hisab untuk shalat dalam keseharian hidup mereka, tetapi ketika menentukan Hilal mereka menolaknya.
Contoh lainnya dengan adanya hisab, jauh sebelumnya kita bisa mengetahui dengan jelas kapan waktu gerhana bulan atau gerhana matahari, di tempat mana terjadinya, kapan waktunya, dan sebagainya. Dengan adanya informasi seperti itu, kaum Muslimin jadi mengetahui tentang kapan waktu gerhana, dan juga bisa bersiap-siap untuk melakukan salah satu sunnah Rasulullah yaitu shalat gerhana.

Hemat kami, bahwa hasil pengamatan harus di uji dan harus sesuai dengan perkiraan hisab, jika misalnya secara hisab hilal mustahil terlihat maka hasil ru’yah secara otomatis diragukan ke sahihannya. Ketidak mungkinan hilal terlihat menurut perhitungan bisa dikarenakan ketinggian (altitude) terlalu rendah, azimuth terlalu melebar atau kerena pembiasan atmosfer atau faktor paralax. Ini membuktikan adanya ru’yah tidak bisa terlepas dari adanya hisab.
Berawal dari inilah bagi orang yang memakai metode Hisab akan mengatakan bahwa metode hisab itu lebih akurat dari pada ru’yah. Sebab, terkadang hilal sudah muncul namun tidak terlihat atau kebetulan bertepatan dengan munculnya sinar bintang yang dikira sebagai hilal, Hisab dalam penentuan awal Ramadhan itu sama saja seperti hisab dalam penjadwalan waktu-waktu shalat. Kalau untuk tujuan itu dibolehkan, maka logikanya untuk penentuan awal Ramadhan pun seharusnya boleh, dan juga Hisab dapat membantu kita memperkirakan apakah hilal nantinya bisa di lihat atau kah tidak.

Yang menjadi masalah sekarang, yang mana di antara kedua metode itu yang lebih baik?

Pertanyaan ini hemat kami tidak dapat dijawab dengan sikap black and white thinking. Maka sebelum menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan hitam putih itu, akan disodorkan sebuah ilustrasi sebagai bahan perbandingan. Einstein menghisab penyimpangan lintasan cahaya bintang akibat pengaruh medan gravitasi matahari. Hisab Einstein itu di uji coba dengan ru'yah Eddington cs pada waktu gerhana matahari total. Pada saat itu instrumen yang meru'yah cahaya bintang tidak silau oleh terangnya matahari, karena langit gelap di siang hari. Hasil ru'yah menunjukkan bahwa teori Einstein tentang adanya pengaruh medan gravitasi terhadap cahaya terbukti benar, namun hasil hisab dengan ru'yah tentang besarnya sudut penyimpangan itu terdapat sedikit perbedaan. Kalau pertanyaan yang sama dikemukakan dalam hal ini: Mana yang lebih tepat di antara ru'yah Eddington cs dengan hisab Eintein, maka jawabannya pun tetap sama: Tidak dapat dijawab dengan sikap black and white thinking.
Menurut hemat kami, Jika kita sekarang menentukan awal Ramadhan dan awal Syawwal dengan metode hisab, bukan berarti kita tidak mengikuti Hadits Nabi. Kita tetap melaksanakan ru’yah, cuma bukan ru’yah dengan mata melainkan ru’yah dengan ilmu, Kata kerja ra’aa, yaraa dalam bahasa Arab bukan hanya berarti ‘melihat’, tetapi juga dapat berarti ‘memperhatikan, menyelidiki, meneliti’. Selain menurunkan kata ru’yah, kata kerja ra’aa juga menurunkan kata ra’yu yang berarti ‘pemikiran, opini’.
Jika kita mau melihat fakta yang ada, setidak tidaknya kita dapat mengambil sedikit kesimpulan, bahwa ilmu falak mulai dari yang teori klasik sampai yang kontemporer adalah mengamati (rukyat) fenomena alam (Matahari,bumi,dan bulan) yang kemudian dituangkan dalam teori-teori perhitungan (hisab). Jadi pada dasarnya, rukyat adalah ”ibu kandung” dari hisab, dan hisab merupakan ”perwujudan” nyata dari rukyat. Sebab tanpa rukyat tidak mungkin ada data-data astronomis, dan sebaliknya tanpa hisab orang akan kebingungan untuk mengakses data terbaru dari data-data astronomis tersebut.

Dari sekelumit catatan kami di atas mungkin bisa di tarik suatu benang merah, bahwa sebenarnya hisab dan ru-yah tidak bertentangan, malah sebaliknya hisab bisa menjadi pendukung ru-yah. Dengan hisab, bisa ditentukan apakah Hilal kemungkinan besar akan terlihat atau tidak. Jika ahli hisab mengatakan ru-yah dapat terlihat di suatu tempat, maka hanya perlu pembuktian dengan ru-yah, dan ini biasanya memang benar. Jika ahli hisab dan astronom mengatakan dengan ilmu hisab dan astronominya bahwa Hilal kemungkinan tidak akan terlihat, maka tinggal buktikan saja dengan ru-yah, simpel kan? Hehe

Anda pilih hisab atau ru’yah … terserah, kalau pertanyaan ini diajukan kesaya maka saya akan dengan tegas menjawab saya mengikuti hasil ru’yah bil’ilmi dengan harapan tidak menafikan sunnah yang di ajarkan oleh Rosululloh.

Dan semoga catatan kecil kami ini bisa menambah wawasan anda.

           Benarkah Pesantren “SARANG” Teroris ?

Di akui atau tidak, Pesantren adalah institusi pendidikan Islam, tempat mengajarkan tatanan hidup Islami kepada para santri. Diharapakan, para alumni pesantren, kelak menjadi pioneer kebajikan di tengah-tengah masyarakat. Inilah misi Islam, sebagai realisasi dari hadits Nabi Muhammad Saw.: "Orang yang menunjukkan kebaikan kepada orang lain mendapatkan pahala bagi dirinya dan orang lain yang mengikuti ajakan kebaikan itu." (HR. Muslim),

Namun, kini eksistensi pesantren mulai digugat, misi Islam dicurigai sebagai penyebar ideologi teroris dan menanamkan paham ekstrimis. Berdasarkan kecurigaan ini pula, Presiden AS, George Walker Bush, menekan pemerintah RI, agar mengubah kurikulum pesantren.

Dalam masalah ini saya tidak setuju dengan salah satu anggota pemerintahan yang mempunyai ide untuk membatasi sekaligus mengawasi aktivitas pesantren, dengan dalih kecurigaan yang sama.

Korupsi dan Terorisme

Apabila institusi pesantren digolongkan sebagai wilayah subur penyemaian ideologi teroris, dengan segala akibat buruknya, bagaimanakah merumuskan kurikulum terorisme, sementara UU anti terorisme belum memiliki definisi spesifik tentang terorisme? Mengaitkan pesantren dengan terorisme, berdasarkan kecurigaan maupun indikator imajinatif, bukankah berarti pemerintah telah bersikap diskriminatif terhadap lembaga pendidikan Islam?

Padahal, bila kita menerapkan logika yang sama pada berbagai peristiwa yang terjadi di negeri ini, terutama bahaya dan malapetaka yang diakibatkannya, Bahwa suatu institusi harus bertanggung jawab terhadap sepak terjang anggota atau alumninya, niscaya pesantren bukanlah satu-satunya institusi yang harus dicurigai, diawasi dan dibatasi ruang geraknya. Partai Politik, institusi TNI-Polri, juga termasuk kategori yang harus diteliti dan dibatasi aktivitasnya.

Selain itu ada lagi yang juga harus dicurigai dan dibatasi ruang geraknya yaitu Perguruan Tinggi. Karena terbukti, Perguruan Tinggi telah melahirkan para koruptor ketika mereka menduduki jabatan pemerintahan. Adalah relevan, jika pemerintah berinisiatif melakukan penelitian mengenai “kurikulum nasional”, apakah dalam kurikulum tersebut terdapat muatan materi yang mengajarkan cara-cara korupsi yang produktif dan aman?

Kasus seorang perwira menengah TNI yang membunuh istrinya secara amat sadis di ruang pengadilan agama, saat mengurus proses perceraian, adalah contoh lain lagi. Sang perwira tidak puas atas keputusan Hakim mengenai pembagian harta gono-gini yang nilainya miliaran rupiah, sehingga ia pun menikam istrinya dengan pisau sangkur. Ketika Hakim hendak melerai, sang Hakim pun ditikam hingga tewas di tempat. Dapatkah tindakan kalap perwira ini dijadikan bukti, bahwa institusi TNI memang mengajarkan perilaku sadis dalam kurikulum pendidikannya?

Adanya dugaan, jumlah rekening yang tidak wajar milik sejumlah perwira menengah dan perwira tinggi Kepolisian RI yang diberitakan media massa, yang salah satunya bernilai ratusan miliar rupiah. Apakah hal ini, menunjukkan adanya muatan kurikulum yang mengajarkan –konsep suap menyuap– dalam sistem pembinaan polisi?
Jika mau jujur, institusi di luar pesantren sebenarnya telah banyak melakukan tindak kejahatan terhadap rakyat dan kemanusiaan. Namun, mengapa yang dicurigai justru pesantren? Padahal, dedikasi pesantren di dalam mencerdaskan bangsa dan memenuhi kebutuhan rohaniah umat, sungguh luar biasa. Pesantren lah lembaga pendidikan alternalif yang banyak membantu masyarakat, dengan menampung serta mendidik anak-anak usia sekolah, yang tidak memperoleh tempat di sekolah lain, akibat mahalnya biaya pendidikan. Ironisnya, pesantren kini justru diposisikan sebagai tertuduh – yang entah tuduhan ini berdasar atau tidak - yang harus diawasi dan diintimidasi.

Atas Nama Tuhan

Pada Juni 2003, dalam suatu pertemuan rahasia dengan petinggi Palestina, Bush melontarkan klaimnya tentang adanya perintah Tuhan untuk memerangi terorisme, Presiden Bush mengatakan pada kami:
Tuhan menyuruh saya, “George pergi dan perangi teroris di Afghanistan.” Itu saya lakukan. “George pergi dan hentikan tirani di Irak.” Ini juga saya lakukan. Dan kini, “bantulah Palestina mendirikan negara sendiri dan bantu Israel menegakkan keamanan dan ciptakan perdamaian di Timur Tengah.” Saya pun mengusahakannya.

Klaim religius yang mengatas namakan Tuhan terhadap tindakan barbar tentara Amerika dan sekutunya di Afghanistan dan Irak, mendapat kecaman dari Direktur Christian Socialist Movement, Andrew Blackstock. “Bila Bush benar-benar mentaati perintah Tuhan, langkahnya harus dimulai dari apa yang jelas-jelas ada dalam Injil, bukan bisikan-bisikan supranatural seperti itu.”

Jadi, tindakan Bush memerangi terorisme, jelas membawa missi religius. Yaitu, memunculkan trauma dan ketakutan global dengan menyerang seseorang atau sekelompok orang yang diposisikan sebagai musuh Tuhan. Siapakah Musuh Tuhan yang dimaksud George Bush, dan bagaimana ciri-cirinya? Sebagaimana sinyalemen pemimpin Kristen Andrew Blackstock, secara imajinatif sesuai bisikan paranormal, George Walker Bush menemukan identitas Musuh Tuhan, pada kelompok Al-Qaida pimpinan Usamah Bin Ladin, dan Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara.

Dalam persepsi George Bush, identitas musuh Tuhan ada dua. Pertama, kelompok Islam yang berusaha membangun tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara berdasarkan syari'at Islam seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Kedua, merintangi hegemoni AS dan Barat dalam membangun tata dunia baru berwajah imperialis.
Karena itu, Amerika merasa berhak menteror rakyat Afghanistan, dan menggulingkan rezim Saddam Hussein di Irak, sekalipun akibatnya, menghancurkan peradaban serta menghina keyakinan agama kaum Muslimin.

Rasanya, terlalu bodoh apabila pemerintahan, memperlakukan pesantren dan gerakan Islam, mengikuti pola-pola Orde Baru. Apalagi jika tindakannya dimotivasi kepentingan asing, sehingga menyebabkan, tidak saja kehilangan identitas agama, tapi juga identitas bangsa yang berdaulat. Ketimbang membuka konfrontasi dengan umat Islam, lebih adil jika pemerintah mendengarkan aspirasi Islam dalam mengelola negara yang sedang terpuruk ini.
Pesan Rasulullah Saw: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain, maka Allah pasti binasakan dia. Dan barangsiapa menyengsarakan manusia, maka Allah akan sengsarakan dia.” (HR. Thabrani).

Saya yakin setiap kita tahu saat sebagian pemerintah melakaukan korupsi, tidak pernah ada perintah untuk melakukan investigasi siapa dia, dari mana, lulusan apa dia? Sehingga bukan pesantren saja yang harus di bidik dan di awasi.

Pertanyaan selanjutnya, benarkah hanya pesantren saja yang harus di awasi dan dan di intimidasi? Kita hanya bisa memberi kesimpuan sedikit bahwa saat ada terror dll, instansi pemerintah seharusnya intropeksi diri, apa kesalahan saya sehingga rakyat melakukan hal yang tidak di inginkan seperti ini? Dan bagaimana langkah selanjutnya?
Sekali lagi perlu kami ulangi suara hati kami, menurut logika yang benar bukan hanya pesantren saja yang musti di bidik, tapi smuanya...........

Monday 28 October 2013







JANGAN BERKECIL HATI KALAU ADA MURID YANG BODOH
( Petuah Mbah Hamid kepada Ustadz Syamsul )

Al-Kisah , ada seorang ustadz  mengajar ilmu nahwu di Pon-Pes Salafiyah ( Pondoknya Mbah Hamid ), Mulai ba’da shalat shubuh Ust. Syamsul mulai mondar mandir di depan kantor madrasah salafiyah. Yang diberpikir tiada lain adalah menggunakan metode apakah yang paling tepat agar semua anak didiknya mendapat nilai bagus semua. Padahal jika dilihat, nilai siswa pada pelajaran nahwu yang diajarkan oleh Ust. Syamsul terbilang lumayan relatif, seperti layaknya sekolah-sekolah formal yang lain pastilah ada satu dua anak yang dapat nilai merah.

Sudah hampir jam masuk sekolah Ust. Syamsul masih saja mondar-mandir di depan kantor madrasah. Ketika itu Kiai Hamid yang berada di teras ndalem melihat Ust. Syamsul yang terlihat seperti orang linglung. Kiai Hamid pun datang menghampiri Ust. Syamsul.

“Sul,  ayo melok aku.” (Su,  Ayo ikut Saya). Ajak Kiai Hamid. Lalu, Ustad yang kini mengisi jajaran staf pengajar di madrasah tsanawiyah dan aliyah tersebut digandeng tangannya sampai di samping ndalem (kediaman) Kiai Hamid. Di situ Ust. Syamsul ditunjukkan sebuah pohon kelapa yang masih sedikit buahnya.
“Sul, awakmu weroh ta lek krambil iku gak kiro dadi kelopo kabeh. Yo onok singlugur, onok sing dadi degan langsung di ondoh, onok seng dadi kelopo iku mek titik, loh ngono iku mau masio wes dadi kelopo kadang sek dipangan bajing. Cobak pikiren mane, seumpamane lek kembang iku dadi kabeh, singsakaken iku uwite nggak kuat engkok”.
(Sul, apakah kamu tahu, kalau “krambil” (bunga kelapa) itu tidak akan jadi kelapa semuanya. Ya ada yang terjatuh, ada yang masih jadi degan akan tetapi sudah diambil, ada juga yang sudah jadi kelapa, itu pun sedikit. Walau pun sudah jadi kelapa, terkadang belum dipanen sudah dimakan sama tupai dulu. Coba kamu pikir, kalau bunga itu jadi kelapa semua, yang kasihan itu pohonnya, pasti tidak akan kuat.) ujar Kiai Hamid.

 Belum sempat menjawab Kiai Hamid melanjutkan lagi. “anggepen ae wet kelopo iku mau guru, lek onok guru muride dadi kabeh yo angel, yo onok sing bijine elek, yo onok sing pas-pasan. Yo onok mane sing apik. Engko lek muride oleh nilai apik kabeh sak’aken gurune, biso-biso lek nggak kuat guru iku mau biso ngomong “ikiloh didikanku, dadi kabeh sopo disek gurune” lah akhire isok nimbulno sifat sombong.
( anggap saja pohon kelapa itu sebagai gurunya, kalau ada seorang guru yang berkeinginan semua muridnya itu sukses ya sulit, ya ada yang nilainya jelek, ya ada yang pas-pasan, ya ada lagi yang baik. Nanti kalau muridnya dapat nilai baik semua, kasihan gurunya, bias-bisa kalau nggak kuat guru tadi bias bilang “ inilah didikanku, semua jadi orang berhasil,siapa dulu gurunya “ kan akhirnya menimbulkan sifat sombong )
Petuah yang sangat menyejukkan hati….




Antara Nabi, Dukun, dan Penyair






Antara Nabi, Dukun, dan Penyair

Kenapa bahasan tentang perdukunan dan sihir diletakkan setelah bahasan tentang kenabian?

Saya kira alasannya jelas: perdukunan adalah gejala yang hampir menyerupai kenabian. Dengan kata lain, perdukunan dan kenabian adalah "gejala mental" yang masih satu keluarga. Itulah sebabnya, dulu Nabi pernah dituduh sebagai dukun (kahin) atau penyihir oleh masyarakat Mekah. Tuduhan ini tak mungkin terjadi kalau tak ada kedekatan antara kedua gejala itu. Tetapi, tentu perdukunan mempunyai sifat-sifat yang secara kategoris berbeda dengan kenabian. Kenabian bersumber dari Tuhan, perdukunan dari Setan; meskipun pembuktian sesuatu berasal dari Tuhan dan yang lain berasal dari setan bukan perkara mudah.

Dalam seluruh sejarah kenabian, selalu ada masalah para "impostor", yakni nabi-nabi gadungan yang hanya mengaku-ngaku nabi tanpa bukti yang meyakinkan. Tetapi, anyway, baik dukun ataupun nabi, keduanya punyai klaim telah menerima "inspirasi" dari sumber yang gaib. Soal sumber yang satu bersifat baik, yang lain jahat, itu perkara lain.

Yang menarik lagi, coba perhatikan sejumlah hadis yang mengecam keras orang-orang yang datang ke dukun. Sebuah hadis menyebutkan, seseorang yang mendatangi dukun, pahala ibadahnya akan hangus semua dalam kurun waktu 40 hari (tidak masuk dalam leger amal yang dipegang malaikat). Di sini, tampak adanya kontestasi antara kenabian dan perdukunan. Perdukunan adalah semacam "dunia gelap" yang bisa merongrong wibawa kenabian. Kenabian selalu keep an eye atas dunia perdukunan, sebab kalau tidak, otoritasnya dapat disubversi.

Para teolog Islam pun berusaha menghancurkan wibawa perdukunan, sebab ia memang mengancam kenabian. Tak heran kalau bahasan tentang perdukunan langsung menyusul bahasan tentang kenabian.

Pesaing kenabian yang lain adalah penyair. Sebagaimana Nabi, seorang penyair juga mengklaim mendapat inspirasi. Karena itu, dulu Nabi juga dituduh sebagai penyair. Wahyu menyangkal keras tuduhan ini. Para teolog Islam pun menyangkal kalau Alqur’an adalah puisi, sebab, jika dikatakan demikian, ada kekhawatiran Alqur'an adalah sama dengan puisi para penyair yang merupakan pesaing Nabi itu. Padahal, secara literer, beberapa ayat Alqur'an jelas menyerupai puisi, terutama puisi bebas (bukan puisi taf'ilah dalam istilah Ilmu 'Arudl atau ilmu tentang puisi klasik Arab –yakni puisi yang memakai meter atau ukuran/wazan).

Dengan demikian, kita telah melihat persaingan yang sengit antara Nabi, Dukun, dan Penyair.

Kalau kita lihat ketiga jenis manusia itu, akan tampak bahwa ketiganya bergerak pada level kognitif dan mental yang hampir serupa; ketiganya bergerak pada level inspirasi-intuisi. Dalam menegakkan klaimnya, ketiganya tidak menyandarkan diri pada bukti rasional, tetapi sejenis "keajaiban" yang datang dari dunia eksternal. Dalam kasus Nabi, keajaiban itu disebut "mukjizat"; pada dukun "istidraj"; dan pada penyair, "keajaiban kata-kata" atau mantra/thalâsim.

Ketiganya tidak pernah memakai argumen rasional untuk mendukung klaimnya masing-masing, meskipun Alqur'an, sebagai bukti kenabian Muhammad, telah diklaim mengajukan bukti-bukti rasional juga oleh para teolog Islam (menurut saya, klaim ini kurang begitu meyakinkan).

Dengan kata lain, baik Nabi, Dukun, dan Penyair mewakili suatu jenis artikulasi mental tertentu dalam sejarah peradaban manusia. Yaitu, artikulasi peradaban yang bersifat ekspresif-performatif. Inilah peradaban yang diwariskan oleh nabi-nabi Israel (Islam masuk juga dalam kategori ini).

Di seberang peradaban ini, ada jenis peradaban lain yang sumbernya bukan wahyu atau inspirasi, tapi penalaran rasional yang dingin, analitis, dan cenderung individualistik. Itulah peradaban yang lahir di Yunani, dengan "nabi-nabi"-nya yang tak kalah mengagumkan, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka berangkat dari pengandaian yang berbeda, yaitu "skeptisisme".

Kaidah dasar dalam peradaban analitis-rasional adalah "ragu dulu, berpikir, baru percaya", yang berseberangan dengan etos peradaban ekspresif yang bersumber dari Ibrahim, "percaya dulu, baru berpikir". Dasar agama memang "percaya", sementara dasar filsafat adalah "ragu". Etos yang berkembang dalam kedua bidang itu sangat berjauhan.

Saya tahu, ini hanya simplifikasi dari fenomena yang sangat ruwet dan kompleks. Tetapi, tipologi peradaban ekspresif dan analitik bukan tidak mengandung kebenaran. Dengan kata lain, kita menyaksikan persaingan antara Peradaban Yerusalem vs Peradaban Yunani; antara Nabi di satu pihak dan filosof di pihak lain. Di dalam peradaban Yerusalem sendiri ada persaingan antara Nabi, Dukun, dan Penyair.

WALLOHU A'LAM

Sunday 27 October 2013

KONSTANTINOPEL DALAM SEJARAH






KONSTANTINOPEL DALAM SEJARAH

Rasulullah Saw bersabda kepada para sahabatnya, “Suatu saat Konstantinopel akan ditaklukkan (oleh kaum muslimin). Sebaik-baik pemimpin adalah yg memimpin penaklukan tersebut dan sebaik-baik prajurit adalah prajurit yg ikut dalam penakulukan tersebut. “(HR Ahmad).

kontan saja setelah mendengar sabda Rasulullah tersebut para sahabat langsung tergerak, bermimpi siang-malam, dan langsung melakukan aksi nyata berupa pagelaran jihad membebaskan Konstantinopel. sejak saat itu ratusan kali usaha merebut Konstantinopel dilakukan oleh kaum muslimin hingga puncaknya pada tahun 1453 Konstantinopel takluk di tangan pemuda berusia 21 tahun yg bernama Muhammad Al Fatih. maka janji Rasulullah beberapa abad sebelumnya telah terlaksana. tapi jauh sebelum Al Fatih ada ribuan hingga jutaan mujahid menemui syahid di sepanjang benteng Konstantinopel. salah satunya adalah sahabat Abu Ayyub Al Anshary ra yg memimpin pasukan jihad menaklukkan Konstantinopel di era Khalifah Abu Bakar As Siddiq ra. ketika itu ia berusia sekitar 60 tahun, mimpinya adalah menaklukkan Konstantinopel dan mewujudkan janji Rasulullah, namun ketika ia sadar akan batas usianya ia berjuang sedekat mungkin untuk mendekati tembok kota. sebelum syahid ia berpesan kepada para prajuritnya, “jika aku mati makamkan jasad ini sedekat mungkin dg tembok Konstantinopel. karena aku ingin mendengar derap kaki kuda dan para prajurit yg nanti menaklukkan Konstantinopel.”

pertanyaannya kenapa harus Konstantinopel? mengapa Rasulullah menempatkan kota ini sangat istimewa dan sebagai sebuah motivasi di depan para sahabatnya? kaum muslimin boleh menaklukan dan membebaskan kota dan daerah manapun di seluruh penjuru bumi, tapi tidak ada yg lebih istimewa ketimbang Konstantinopel yg oleh Rasulullah bahwa pemimpin penaklukan dan para prajuritnya dianggap sebagai sebaik-baik pemimpin dan prajurit.  mengapa?

saya mungkin terlalu sombong apabila merasa mampu menafsirkan kehendak Rasulullah yg maksum. tapi saya mencoba sedikit berspekulasi terkait pertanyaan di atas. Rasulullah memberikan sebuah motivasi yg tinggi kepada para sahabat dan umatnya. dalam hal penaklukan Konstantinopel, Rasulullah menanamkan sebuah cita-cita yg sangat tinggi di benak kaum muslimin (bahkan sebuah cita-cita yg nyaris mustahil (bagi orang2 kafir dan munafik)) karena Konstantinopel adalah sebuah kota yg nyaris tak tertaklukkan selama berabad-abad.

Kota benteng

Konstantinopel sejak awal dibangun memang telah memenuhi syarat sebagai kota yg tak tertaklukkan. berada di sebuah tanjung dan dibentengi gunung-gemunung membuat kota ini menjadi Troya baru yg terisolir namun makmur bukan alang-kepalang karena pelabuhannya yg terbuka. satu-satunya cara menaklukkan Konstantinopel adalah melalui laut. tapi ini mustahil, pertama, konsep pendaratan marinir pada era tersebut belum terpikirkan dan tersa sangat sulit.

kedua, tidak adanya pantai yg datar di sekitar kota, kota secara alami di bentengi oleh tebing karang yg di atasnya didirikan tembok benteng yg sambung-menyambung. satu-satunya celah hanyalah selat Golden Horde sebagai pintu keluar masuk bagi kapal yg singgah di Konstantinopel. masalahnya di depan selat terpasang rantai buka tutup yg akan menenggelamkan kapal yg masuk tanpa izin ke Konstantinopel.

oleh sebab itu Konstantinopel nyaris tidak terpengaruh oleh hiruk pikuk peradapan. kota ini selalu adem ayem dan lestari meskipun kawasan di sekitarnya jatuh bangun oleh invasi, peperangan, dan perubahan. ketika Roma hancur lebur dan peradaban Romawi barat gulung tikar oleh serangan Attila the Hun, Konstantinopel dan warganya tetap bisa duduk manis menikmati sarapan segelas kopi,hehe.

maka tidak salah apabila Rasulullah menggunakan Konstantinopel sebagai penyemangat umatnya, sejauh mana kemampuan kaum muslimin untuk membuktikan imannya.
inilah salah satu tarbiyah atau pendidikan ala Rasulullah kepada kita kaum muslimin. sebuah konsep pendidikan yg memberikan impuls atau dorongan kepada pelajar agar berani bercita-cita dan menaklukkan segala rintangan yg menghalangi cita-citanya. Rasulullah memberikan dorongan berupa penaklukan Konstantinopel, sebuah kota yg nyaris tak tertaklukkan yg efeknya adalah dapat menjadi trigger atau penyemangat bagi pergerakan jihad kaum muslimin. oleh Rasulullah benak kaum muslimin telah diisi sebuah pemahaman “apabila Konstantinopel yg nyaris tak tertaklukkan saja suatu saat akami taklukkan, lalu bagaimana dg kota dan daerah lain”.  oleh karena mengapa pendidikan kaum muslimin saat ini mundur, mungkin karena para guru-guru kaum muslimin belum mampu memberikan sebuah motivasi dan impuls kepada para muridnya agar bercita-cita sangat tinggi dan menaklukkan segala aral yg menghalanginya untuk meraih cita-cita tersebut.

selain tarbiyah, kisah penaklukkan Konstantinopel juga berimplikasi kepada gerak dakwah, amal sholeh, dan keimanan kaum muslimin. sabda Rasulullah tersebut seakan menjadi penegas keimanan seorang muslim. seberapa besar imannya yg dibuktiukan dg sebuah amal sholeh berupa amal jihad dan dakwah.

wallohu a'lam.

sekelumit tentang tauhid

sekelumit tentang tauhid

Akal dan wahyu dipakai oleh manusia di dalam membahas ilmu teologi, sebagai ilmu  yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap  Tuhan. Akal sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia berusaha terus untuk sampai kepada diri Tuhan sedangkan wahyu sebagai khabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan.

Persoalan kekuasaan dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok dan masing-masing bercabang dua. Masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan (husul ma’rifah Allah) dan kewajiban mengetahui Tuhan (wujud ma’rifah Allah). Masalah kedua bercabang dua menjadi mengetahui baik dan jahat (Ma’rifah Al-Husul Wa Al-Qubh). Dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban mengetahui perbuatan jahat (wujud I’tinaq Al-Hasan Wa Ijtinab Al-Qabih).

Polemik yang terjadi antara aliran-aliran teologi Islam untuk bersangkutan ialah yang manakah diantara empat masalah tersebut yang dapat diperoleh melalui akal dan yang mana melalui wahyu? Masing-masing aliran memberikan jawaban-jawaban yang berlainan:

Mu’tazilah

Bagi kaum mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi  yang jahat adalah pula wajib. Dari beberapa pendapat ulama mu’tazilah diantaranya adalah Abu al-Huzail, al-Nazzam, dan juga al-Syahrastani dapat disimpulkan bahwa jawaban kaum mu’tazilah atas keempat masalah pokok tersebut dapat diketahui oleh akal.

Asy’ariah

Dari aliran asy’ariah, al-Asy’ari menolak bagian besar dari pendapat kamu mu’tazilah di atas. Dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadanya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patut kepada Tuhan akan memperoleh apa dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman. Hal senada juga diungkapkan oleh para ulama Asy’ariah diantaranya adalah  Baghdadi, dan juga pendapat al-Gazali.

Al-Maturidi

Sementara dalam aliran al-maturidi bertolak belakang dengan pendirian asy’ariah tetapi ia lebih cenderung sepaham dengan pendirian mu’tazilah, al-maturidi berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia untuk bertimakasih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari keterangan al-Bazdawi berikut:
“Percaya kepada Tuhan dan berterima kasih kepadanya sebelum adanya wahyu adalah wajib dalam paham mu’tazilah..al-syaikh Abu Mansur al-Maturidi dalam hal ini sepaham dengan Mu’tazilah. Demikian jugalah umumnya ulama Samarkandd dan sebagian dari alim ulama Irak”.

Keterangan ini diperkuat oleh Abu Uzbah:

“Dalam pendapat mu’tazilah orang yang berakal, mudah-tua, tak dapat diberi maaf dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah berakal mempunyai kewajiban percaya kepada Tuhan. Jika ia sekiranya mati tanpa percaya kepada Tuhan, ia mesti diberi hukum. Dalam maturidi anak yang belum baliq tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Tetapi abu Mansyur al-Maturidi berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini tak terdapat perbedaan antara maturidi dan mu’tazilah.

Kalau uraian al-Bazdawi, abu Uzbah dan lain-lain memberi keterangan yang jelas tentang pendapat al-Maturidi mengenai soal mengetahui Tuhan dan kewajiban berterimakasih kepada Tuhan, keterangan yang demikian tidak dijumpai dalam soal baik dan buruk. Al-Bazdawi umpamanya, mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan mengerjakan yang buruk, karena akal dapat mengetahui baik dan buruk; sebenarnya Tuhanlah yang menentukan kewajiban baik dan buruk.
Untuk mengetahui pendirian al-Maturidi haruslah diselidiki karangan-karangan sendiri. Buku kitab al-tauhid mengandung penjelasan tentang hal ini. Akal, kata al-Maturidi, mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk; dengan demikian akal juga baik, dan pengetahuan inilah yang memastikan adanya perintah dan larangan. Akal, kata al-Maturidi selanjutnya, mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah buruk. Oleh karena itu akal memandang mulia terhadap orang yang adil serta lurus  dan memandang rendah terhadap orang yang bersikap tak adil dan tidak lurus.
Jelaslah bahwa dalam pendapat al-Maturidi, bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk. Tetapi tetap menjadi pertanyaan apakah akal bagi al-Maturidi dapat mengetahui hal itu. Yang diwajibkan akal, menurut uraian itu, ialah adalah perintah dan larangan dan bukan mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Dengan demikian bagi al-Maturidi akal dapat mengetahui tiga persoalan pokok sedangkan yang satu lagi yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui hanya melalui wahyu. Pendapat al-Maturidi diterima oleh pengikutnya yang berada di Samarkand. Adapun pengikut-pengikut di Bukhara, mereka mempunyai paham yang berlainan sedikit, paham berkisar sekitar persoalan kewajiban mengenai Tuhan.

Bukhara

Dalam hubungan ini al-Bayadi bahwa menurut pendapat abu Hanifah mengenai Tuhan adalah wajib menurut akal walaupun pemberitaan dari rasul tak ada. Abu Mansyur dan sebagian besar alim ulama dari Irak kata al-Bayadi selanjutnya, berpendapat bahwa ini berarti ‘wajib” menurut akal naluri. Jika kewajiban mengetahui dan percaya pada Tuhan berarti kewajiban menganut kepercayaan itu, maka umumnya alim ulama tidak sepaham dengan al-Imam abu Mansyur; tetapi jika yang dimaksud ialah asal (asl) kewajiban, maka umumnya alim ulama berpendapat demikian. Dalam pendapat ia tidak sependapat dengan al-Maturidi yang  mengatakan akallah yang menentukan kewajiban mengetahui Tuhan bagi anak, dan bukan tercapainya umur dewasa oleh anak itu. Golongan Bukhara justru berpendapat bahwa akal tidak mampu untuk menentukan kewajiban; akal hanya mampu mengetahui sebabnya kewajiban.

Dengan demikian akal menurut paham golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban. Akibat dari pendapat demikian ialah bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu adalah wajib bagi manusia. Dan ini merupakan pendapat golongan Bukhara.

Kesimpulan
Dari beberapa uraian pada bab II maka  dapat ditarik benang kesimpulan antara lain sebagai berikut:
1.    Golongan Mu’tazilah dalam empat masalah pokok dalam teologi dapat diketahui oleh akal
2.    Golongan Asy’ariah berpendapat bahwa benar akal dapat mengetahui Tuhan tetapi tidak dalam tiga hal pokok lainnya.
3.    Golongan Al-Maturidi Samarkand berpendapat mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui perbuatan baik dan jahat dapat diketahui oleh akal sementara kewajiban mengetahui perbuatan baik dan jahat hanya dapat diketahui oleh wahyu
4.    Golongan Maturidi Bukhara berpendapat mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui oleh akal sedangkan mengetahui baik dan jahat serta kewajiban mengetahui baik dan jahat dapat diketahui oleh wahyu.

wallohu a'lam

Saturday 26 October 2013

Siapakah Ahli Sunnah Wal Jamaah Itu?




Siapakah Ahli Sunnah Wal Jamaah Itu?

Nabi Muhammad saw dalam salah satu haditsnya bersabda bahwa umat Islam nantinya terpecah dalam berbagai kelompok yang berbeda pendapat sebanyak 73 golongan. Dari seluruh golongan tersebut, yang selamat, tidak di neraka, hanya satu yaitu yang disebut denganAhlus Sunnah wal Jamaah,
Ketika ditanya tentang artinya, beliau menjawab singkat:

مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ  

segala sesuatu yang aku lakukan bersama sahabat-sahabatku.
Berdasar hadits tersebut dapat diuraikan pengertian sebagai berikut:

Kata ahlun, ahlu atau ahli, berarti kaum atau golongan.
Kata assunnah artinya tingkah laku, kebiasaan, ucapan, perbuatan atau sikap Nabi saw.
Kata wa atau wal adalah kata sambung, berarti "dan".
Kata aljamaah, semula berarti kelompok. Dalam hal ini pengertiannya sudah mengkhusus menjadi kelompok sahabat Nabi. Istilah sahabat Nabi artinya sudah mengkhusus pula, yaitu mereka yang beriman kepada Nabi dan hidup sezaman atau pernah berjumpa dengan beliau.

Jadi Ahlussunnah wal jamaah ialah golongan yang mengikuti aturan aturan nabi Muhammad dan para sahabat dalam hal menjalani ibadah dan juga perilaku sehari hari.
Namun jika kita melihat fenomena yang ada banyak dari golongan tertentu yang menisbatkan golongan merekalah yang benar  atau merekalah yang di maksud nabi yang suatu saat umat islam akan terpecah menjadi 73 semuanya sesat kecuali satu yaitu Ahlussunnah wal jamaah. Yang entah klaim klaim mereka benar benar mengarah pada hadis di atas atau tidak.

Dalam kazanah islam sebagian kita mengetahui bersama bahwa orang orang islam pecah menjadi beberapa golongan, antara lain syiah khawarij mu’tazilah murjiah wahhabi sunni dan lain lain. Golongan ini di latar belakangi oleh cara sudut pandang mereka memahami suatu bentuk nash baik al quran maupun assunnah. Yang pada umumnya golongan sunni lah yang mengarah pada istilah ahli sunnah wal jamaah.

Kami di sini tidak membicarakan sejarah tentang golongan di atas tapi  dalam tulisan ini mencoba untuk tidak sepihak atau tidak menyalahkan di antara golongan glongan di atas- bukanya kami berpaham liberal atau relative dalam hal kebenaran-, kami hanya menyalahkan mereka mereka yang tidak sesuai pada alquran maupun hadis meskipun golongan atau orang tersebut dari golongan sunni yang lebih kental di namakan ahlisunnah wal jaamaah.

Jelas sekali jika kita memahami hadis nabi di atas, bahwa ahli sunnah adalah sebentuk golongan yang menjalankan ajaran nabi Muhammad dan para sahabat beliau, tidak ada istilah sunni wahhabi khowarij apalagi syiah, kami sangat yakin jika mereka di cap sebagai golongan yang tidak ahli sunnah wal jamaah mereka pasti marah, karena keniscayaaan jika tidak ahli sunnah akan di cap golongan yang sesat.

Hemat kami wajar jika ada pendapat satu atau dua tiga yang tidak sejalan para pemikiran ulama tertentu yang di ikuti oleh golongan tertentu pula, sebagai contoh golongan  tertentu punya tokoh si A sementara ada golongan yang lain punya tokoh si B, pada akhirnya akan meniscayakan setiap golongan  akan berpagang teguh pada ajaran tokoh yang mereka idolakan dan mungkin sampai pada taraf menyalahkan, hal ini sangatlah manusiawi dan sebagai fitrah manusia saat berbeda pendapat, karena masing masing punya alas an tertentu dalam ber ijtihad.

Dan jika melihat sejarah lagi adanya para shohabat  juga tidak sejalan, sehingga sampai pada taraf peperangan, sebagai contoh perbedaan ali, muawwiyah, dan aisyah sehingga mengakibatkan adanya konflik dalam tubuh islam, yang mana hal ini  di latar belakangi adanya perbedaan mereka dalam memahami pesan pesan nabi.

Titik tekan tulisan ini mengerucut pada hal ketidak kesepakatan saya jika suatu golongan saling menyalahkan gologan lain, dalam arti mereka Cuma menilai secara obyektif. Kita sering mendengar kalo syiah sesat,wahabi salah, liberal ngawur dll, tapi tidak mau melihat sisi lain atau mungkin dari segi segi positif, siapa yang tidak membenarkan revolusi kaum syiah atau wahabi di tengah hegemoni barat yang pada saat itu benar benar ingin menguasai dunia dengan teori teri yang sangat bertentangan dengan agama? Atau siapa yang tidak berterima kasih dengan kaum islam yang nuansanya liberal di tangah masyarakat eropa yang sangat kental dengat Negara kafirnya?

Mungkin hal hal ini lah yang membuat agama lain sangat senang melihat ketidak harmonisan di tubuh islam sehingga tau tau kita kecolongan kalau mereka sudah meggerogoti  dan mau menghancurkan islam dalam hal aqidah, konsep hidup maupun budaya.

Perbedaan adalah keniscayaan dari kehidupan jika tidak sejalan jangan main pukul, dan jika mereka tidak sejalan degan ajaran nabi, mari kita berpikir sejenak untuk mencoba  mencuci otak dan mendoakan mereka dengan harapan mau di jalan yang benar. Mudah kan?

Hemat kami dalam mengartikan adanya ahli sunnah adalah golongan yang menjalani ajaran dari Nabi Muhammad dan para shohabat, terlepas dia syiah sunni dan wahabi apalagi di indonesia sangat kental dengan NU dan muhammadiyah, kalau mereka tidak sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad mereka tidak bisa di katakana ahli sunnah waljamaah.

Tulisan kami sangat ringkas, mestinya masih banyak hal yang musti saya cattat dalam tma ini, namun kesendirian kami menulis, kami hanya menulis sekelumit tentang siapa yang di namakan ahli sunnah itu, untuk lebih lanjut dan detailnya mengenai sejarah dan cikal bakal adanya sebutan ahli sunnah pembaca bisa berdiskusi dengan kami.

Selama suatau pendapat tidak masuk dalam akidah, dalam  arti tidak menyimpang dari apa yang telah di ajarkan Rosul konsep keesaan Tuhan, hargai mereka,  karena perbedaan dalam masalah furu’ islam memberi ruang gerak yang bebas.

Pesan kami dalam menyikapi suatu masalah, mbok yoho jangan sampai menilai suatu golongan dengan obyektiv dan sebelah mata, karena  saya yakin ada satu atau dua hal yang searah dengan al quran dan al hadis, dan jika ada yang tidak sejalan dengan pemikiran kita dan hargai mereka, karna mereka juga pasti punya landasan sendiri.

Thursday 17 October 2013




Benarkah Perempuan Di Ciptakan Dari Tulang Rusuk ???

Mungkin pertanyaan saya di atas adalah pertanyaan yang sangat usang, naif dll, karena sebagian kalayak umum mengatakan adanya penciptaan perempuan itu dari tulang rusuk.Tapi tunggu dulu, pertanyaaan yang pembaca harus merenungkan kembali adalah, benarkah kabar yang selama ini anda yakini itu benar adanya? Pernahkah anda mendalami dan memahami sendiri maksud dari quran atau hadis tersebut, tanpa mengikuti pendapat yang mungkin belum tentu kebenaranya? Apa lagi kita semua tau kalo manusia di ciptakan dari tanah entah perempuan atau laki laki. Baiklah kajian kita kali ini akan menguak tentang kejadian perempuan.

Ngaku atau tidak, selama ini kalayak umum tergiring dengan hadis nabi juga surat annisa’ ayat 1, sehingga mereka bersi kukuh mengatakan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk, hadis tersebut adalah:
“berwasiatlah/nasihatilah kepada perempuan-perempuan kalian dengan kebaikan, sebab mereka diciptakan bersifat seperti tulang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika kalian memaksa/berkeras untuk meluruskannya, niscaya ia akan patah. Namun jika kalian biarkan, mereka akan senantiasa bengkok, maka berwasiatlah/nasihatilah dengan kebaikan kepada perempuan-perempuan.” (H.R. Bukhari&Muslim).
 QS. An Nisa’ (4) ayat 1 :
Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Maha Pengaturmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya menciptakan jodohnya dan dari pada keduanya memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.