RSS
Facebook
Twitter

Monday 30 December 2013

Metode dan Mazhab Tafsir

 Metode dan Mazhab Tafsir [1]

Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampilkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. Al-Qur’an  selalu dijadikan sebagai pedoman  dalam setiap aspek kehidupan dan Al-Qur’an  merupakan  kitab suci ummat  Islam yang selalu relevan  sepanjang  masa. Relevansi  kitab suci ini terlihat  pada petunjuk-petunjuk  yang diberikannya  kepada  umat manusia  dalam berbagai aspek kehidupan yang tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.

Allah telah menurunkan Al-Qur`an kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna bukanlah tanpa adanya alasan dan tujuan yang jelas. Al-Qur’an  yang diturunkan  Allah  untuk ummat  manusia  dijadikan sebagai hudan, bayyinah, dan furqan. Sebagaimana Allah berfirman :[2]
    '' Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,”

Pemaknaan yang terkandung dalam Al-Qur`an terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah sehingga muncullah banyak penafsiran tentangnya, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat akan makna. Inilah sebabnya  untuk memahami  Al-Qur’an  di kalangan  ummat  Islam  selalu  muncul  berbagai multi interpretasi atas ayat yang ada dalam Al-Qur`an seiring kebutuhan  dan tantangan  yang mereka  hadapi. Kendatipun demikian, hal tersebut menjadi warna tersendiri dalam memahami ayat-ayat Al-Qur`an sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Agar fungsi Al-Qur’an tersebut dapat terwujud, maka kita harus menemukan  makna firman Allah SWT saat menafsirkan Al-Qur’an. Upaya untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk mencari dan menemukan makna- makna yang terkandung di dalamnya. Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa Al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai  pemikiran  dan penjelasan  pada tingkat  wujud adalah  mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka untuk diinterpretasi pada perkara baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.[3]

Corak penafsiran Al-Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan  berbagai corak penafsiran yang berkembang  menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode  yang berbeda-beda.

Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran Al-Qur’an. Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan Al-Qur’an secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka. Diantara metode penafsiran yang popular dikalangan para ulama tafsir adalah metode tahlili (analitik), metode Ijmali (Global), metode muqaran (komparatif), dan metode mawdu`i (tematik).

Dengan latar belakang pemikiran di atas, maka masalah pokok yang akan dibahas dalam makalah ini adalah  menyangkut  berbagai  metode  yang digunakan mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.  Dan lebih ditekankan pada pengertian metode dengan kosakata yang berkaitan dengan metode tafsir seperti metode, aliran, cara, orientasi, dan corak.  Kemudian  dilanjutkan  dengan  perkembangan metode tafsir, pembagian metode tafsir kelebihan dan kelemahannya  dan terakhir  pembahasan  mengenai  metode  yang relevan  untuk  penafsiran masa kini.

Sebelum jauh memahami berbagai metode tafsir dalam memahami Al-Qur`an, alangkah baiknya terlebih dahulu kita mengetahui makna dan perkembangan tafsir itu sendiri sebagai bagian dari cara untuk memahami makna yang tersirat di dalam Al-Qur`an. Karena tidak menutup kemungkinan sejarah tentang perkembangan tafsir juga dapat mempengaruhi terhadap corak dari berbagai metode tafsir yang telah ada dan berkembang sampai saat ini.

PENGERTIAN METODE TAFSIR

Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Katakan saja, corak penafsiran Al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an. M. Quraish Sihab mengungkapkan bahwa dalam perkembangannya, ilmu tafsir dengan berbagai metodenya memiliki corak masing-masing dalam melakukan penafsiran terlebih karena adanya pengaruh fiqih, tasawuf, atau bahkwan tasawuf sekalipun.

Namun sebelum jauh mengenal corak-corak yang mempengaruhi terhadap perkembangan metode tafsir, terlebih kita memahami dahulu tafsir dan metodenya itu sendiri. Istilah metode diambil dari bahasa inggris yaitu method artinya serangkaian praktek, prosedur dan aturan yang digunakan dalam suatu disiplin ilmu atau penyelidikan, dan dari bahasa latin methodus yang kemudian diserap dalam bahasa yunani menjadi methodos yang berarti cara atau jalan. Sedangkan dalam bahasa arab metode diartikan sebagai manhaj atau minhaj artinya jalan yang terang. Demikian maskud metode adalah suatu jalan atau cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan.[4] Lebih lanjut menurut Steven J. Taylor mengungkapkan bahwa Metode merujuk pada proses, prinsip, dan prosedur yang diikuti dalam mendekati persoalan dan menemukan jawabannya. [5]

Sedangkan istilah tafsir secara etimologis diambil dari kata fassar-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian, Al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir adalah al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. [6] secara terminologis, tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia/ mufassir. Sedangkan tujuannya itu sendiri adalah untuk mengklarifikasi maksud sebuah teks.[7] 

Dalam beberapa pendapat seperti yang dikemukakan Az-Zarkasyi, tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW., serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya. Sedangkan menurut Syekh Al-Jaziri dalam Shahih At-Taujih mengemukakan bahwa tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah-nya. [8]

Dalam mempelajari tafsir, yang menjadikan objek awal tafsirnya itu sendiri adalah teks Al-Qur`an, dengan memberikan perhatian penuh pada teks tersebut agar jelas maknanya. Selain itu, juga memberikan arti fungsi secara simultan mengadaptasikan teks pada situasi yang sedang dihadapi mufassir. Dengan kata lain, kebanyakan penafsiran tidaklah murni teoritis, ia memiliki aspek praktis untuk membuat teks dapat diterapkan dalam memantapkan keimanan dan menjadi pandangan hidup orang mukmin.

SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR

Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat. Rasulullah beserta para sahabatnya mentardisikan, menguraikan dan menafsirkan Al-Qur`an sesaat setelah turunnya ayat tersebut. Tradisi itu terus berlangsung sampai wafatnya Rasulullah. Dalam melakukan penafsiran  terhadap ayat-ayat  Al-Qur’an  pada saat itu dikenal dengan tafsir bil al-matsur sebagai tafsir yang bersumberkan dari Nabi, Sahabat, Tabiin, Tabi`it tabi`in sampai diturunkannya ke setiap generasi melalui periwayatan.[9] Tradisi penafsiran melalui tafsir bil al-matsur berlangsung sampai periode awal pengkodifikasian hadits, yang pada saat itu tafsir merupakan salah satu bagian kitab hadits itu.[10] 

Menjelang akhir pemerintahan bani umayah dan awal pemerintahan bani abbas, yakni tatkala terjadi pengkodifikasian secara besar-besaran beberapa disiplin ilmu, barulah tafsir terpisah dari kitab hadits dan menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Maka disusunlah kitab tafsir ayat per ayat berdasarkan susunan mushaf. Pekerjaan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an ini mengalami kesempurnaan ketika berada pada tangan para ulama seperti Ibn Majah yang wafat pada tahun 310 Hijriah dan An-Naisabury yang wafat pada tahun 318 Hijriah, kegiatan penafsiran seperti ini berlansung sampai sekarang ini.[11]

Semenjak saat itulah tafsir berkembang dan tumbuh seiring dengan keragaman yang dimiliki para mufassir sehingga sampai kepada bentuk yang sampai saat ini dapat dilihat. Akan tetapi perlu didingat, bahwa dalam melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an, seorang mufassirin tidak dapat dilepaskan dari corak pemikirannya atau bahkan kepribadiannya yang menjadi latar belakang dalam memaknai, menguraikan dan menafsirkan suatu ayat dalam Al-Qur`an, seperti halnya corak dari tafsir sufistik, tafsir fiqih, tafsir falsafi, tafsir ilmi, tafsir adabi ijtima`i. Dari berbagai corak tafsir tersebut dinukilkan secara bersamaan tanpa dibeda-bedakan kelahirannya dengan tafsir bil al matsur.

Kelahiran tafsir sebagai sautu disiplin ilmu telah banyak melahirkan berbagai metode tafsir Al-Qur`an seperti metode Ijmali Global) yang cenderung memiliki bentuk bil matsur,[12] tahlili (Analitis) sebagai metode tafsir yang lahir sebagai bentuk jawaban dari perkembangan pemikiran ummat terhadap penafsiran Al-Qur`an yang didasarkan pada tafsir ra`yi,[13] dengan banyaknya penafsiran ulama terhadap ayat-yat Al-Qur`an tanpa menafikan banyaknya pengaruh dari corak pemahaman tafsir itu sendiri seperti tasawuf, fiqih, bahasa, bahkan falsafi, maka tafsir muqarin (Perbandingan) terlahir sebagai metode tafsir yang memuat perbandingan pandangan terkait corak yang dimiliki mufassirin seperti munculnya kitab tafsir Darrat al-Tanzil wa Ghurrat al- Ta’wil karya al-Iskaf, dan pada perkembangan tafsir berkitunya terlahir pula metode tafsir maudhu`i (tematik) sebagai upaya untuk memudahkan pemahaman dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qur`an berdasarkan tema-tema tertentu semisal tentang ilmu, ibadah, agama dan lain sebagainya tanpa harus melakukan penelusuran lebih lama dengan menguras banyak waktu.

Dari berbagai metode tafsir yang ada sampai sekarang ini, kesemuanya dapat memberikan  pengertian  dan penjelasan  yang rinci terhadap  pemahaman  ayat-ayat  Al-Qur’an. Ummat merasa  terayomi oleh penjelasan-penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.  Maka pada perkembangan selanjutnya, metode penafsiran serupa juga diikuti oleh ulama-ulama tafsir, bahkan berkembang dengan sangat pesat dengan menyandarkan ke dalam dua bentuk penafsiran yaitu tafsir al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai corak yang dihasilkannya,[14] seperti fiqih, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi ijtima’I dan lain-lain.[15]

Lahirnya  metode-metode  tafsir tersebut,  disebabkan  oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Katakan saja, pada zaman Nabi dan Sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika ayat-ayat Al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relatif dapat memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat. Maka, pada kenyataannya umat pada saat itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan secara global (ijmal). Itulah sebabnya Nabi tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika mereka bertanya tentang pengertian suatu ayat atau kata di dalam Al-Qur’an.

Berdasarkan kenyataan historis tersebut, dapat dikatakan bahwa kebutuhan  ummat Islam saat itu terpenuhi olah penafsiran  yang singkat (global), karena mereka tidak memerlukan penjelasan yang rinci dan mendalam. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa memang pada abad pertama berkembang  metode global (ijmali) dalam penafsiran  ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode Ijmali terasa  lebih praktis  dan mudah  dipahami,  kemudian  metode  ini banyak diterapkan.  Ulama yang menggunakan  dan menerapkan  metode ijmali pada periode awal, seperti : Al-Suyuthi dan Al-Mahalli di dalam kitab tafsir yang monumental  yaitu kitab tafsir Jalalain, dan Al-Mirghani di dalam kitab Taj Al- Tafsir, dan lain-lain. Tetapi pada periode berikutnya, setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran  Islam.[16]  Maka, konsekuensi  dari perkembangan  ini membawa pengaruh  terhadap  penafsiran  ayat-ayat  Al-Qur’an  yang sesuai  dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan ummat yang semakin kompleks dan beragam.

Corak-corak Tafsir

1)       Tafsir Sufistik
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, telah memunculkan ilmu tasawuf yang memberikan corak pada ilmu tafsir.[17] Terdapat dua aliran dalam tasawuf yaitu :

a)       Aliran tasawuf teoritis (Falsafi)
Dalam aliran ini banyak tokoh-tokoh tasawuf yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami Al-Qur`an dengan sudut pandang teori-teori tasawuf mereka dengan menakwilkan ayat-ayat Al-Qur`an tanpa mengikuti cara yang benar seperti penyimpangan dalam pengertian tekstual yang telah dikenal kebenarannya dalam segi bahasa. Adz-Dzahabi mengemukakan temuannya dalam kitab tafsir Isyari, bahwa di dalamnya tedapat penafsiran Al-Qur`an secara parsial yang dinisbatkan kepada Ibn `Araby pada kitab Futuhat Al-Makiyyah dan Al-Fushush yang ditulis oleh Ibn Araby.

b)       Aliran tasawuf praktis (Akhlaqi)
Tasawuf praktis adalah cara hidup sederhana, zuhud, dan sifat meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Ulama aliran ini menamai karyanya dengan tafsir isyarat, yakni menakwilkan Al-Qur`an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya seperti isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju Allah).

Para sahabat pun banyak yang mengungkapkan tafsir isyarat ini berbarengan kemunculannya dengan tafsir bil al matsur. Tafsir sufistik dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut :
(1)     Tidak menafikan makna lahir (Pengetahuan tekstual Al-Surqan),
(2)     Penafsirannya diperkuat oleh dalill syara` yang lain,
(3)     Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara` atau rasio
(4)     Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstualnya dan mengakui pengertian tekstual terlebih dahulu.
Kitab-kitab tentang tafsir sufistik diantaranya :
(1)     Tafsir Al-Qur`an Al-Azhim, karya imam At-Tusturi (w. 283 H),
(2)     Haqa`iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412),
(3)     Arais Al-Bayan fi Haqa`iq Al-Qur`an, karya Imam Asy-Syirazi (w. 283)


2)       Tafsir Fiqih
Tafsir fiqih semakin berkembang seiring dengan majunya intensitas ijtihad. Pada awalnya, penafsiran-penafsiran fiqih terlepas dari kontaminasi hawa nafsu dan motivasi negatif. Hal ini berlahangsung sampai munculnya mazhab fiqih yang berbeda-beda. Banyak para ulama melakukan ijtihad di bawah naungan Al-Qur`an dan Hadits dalam melakukan penetapan hukum yang tidak diperinci dalam Al-Qur`an.

Setelah kemunculannya imam besar mazhab fiqih, banyak diantara ummat yang fanatik sehingga banyak melahirkan macam-macam tafsir fiqih menurut mazhab yang dianutnya, seperti mazhab khawarij, syiah dan lainnya. Diantara kitab tafsir fiqih diantaranya :

a)       Ahkam Al-Qur`an, Karya Al-jashash (w. 370)
b)       Ahkam Al-Qur`an, karya Ibn Arabiy (w.543)
c)       Al Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, karya Al-Qurtubhy (w. 671)

3)       Tafsir Falsafi
Salah satu pemicu awal kemunculan keberagaman penafsiran adalah perkembangan budaya dan pengetahuan ummat Islam. Bersamaan dengan itu, pada masa dinasti Abbasyiah digalakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa arab, diantara buku-buku itu adalah buku filsafat. Dalam menyikapi persoalan ini, ummat Islam terbagi menjadi dua golongan yakni :

a)       Golongan pertama, menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof karena bertentangan dengan aqidah dan agama. Dari golongan ini lahir kitab Mafatih Al-Ghaib, karya Al-Fakhr Ar-Razy (w.606)
b)       Golongan kedua, mengagumi filsafat, banyak diantara mereka secara tekun dan menerima filsafat selama tidak bertentangan dengan Islam.

4)       Tafsir Ilmi
Allah telah mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniyah, di samping ayat-ayat qur`aniyah. Dengan semangat ini bermunculanlah mufassir yang menafsirkan ayat-ayat kauniyah dengan bertolak dari proporsi pokok-pokok bahasa, dari kapasitas keilmuan yang dimiliki, dan dari hasil pengamatan langsung terhadap fenomena alam. Namun mereka membatasi diri pada penjelasan ayat per ayat secara parsial tanpa menyertakan ayat-ayat yang memiliki tema serupa.
Diantara mufassir yang mendalami tafsir ilmu ini adalah:
a)       Imam Fakhr Ar-Razy dalam kitab Tafsr Al-Kabir
b)       Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin dan Jawahir Al-Qur`an
c)       Imam As-Suyuthi dalam tafsir Ilmi

5)       Tafsir Adabi-Ijtimai (Bahasa)
Dalam tafsir ini berupaya menyingkap keindahan bahasa Al-Qur`an dan mukjizat-mukjizatnya, menjelaskan makna dan maksudnya, memperlihatkan aturan Al-Qur`an tentang kemasyarakatan dan mengatasi persoalan yang yang dihadapi umat lainnya secara umum. Karya-karya tafsir adabi-ijtimai diantaranya adalah :
a)       Tafsir al-manar, karya Rasyid Ridha (w.1354)
b)       Tafsir al-maraghi, karya Al-Maraghi (w.1945)
c)       Tafsir Al-Qur`an Al-Karim, karya Syaikh Syaltut

Ilmu Bantu Tafsir
1)       Ilmu bahasa,
2)       Ilmu nahwu (tata bahasa),
3)       Ilmu sharaf (kojugasi),
4)       Ilmu istiqaq (derivasi kata, etimologi)
5)       Ilmu ma`ani (retorika)
6)       Ilmu bayan (kejelasan berbicara)
7)       Ilmu badi` (efektifitas berbicara)
8)       Ilmu qir`at
9)       Ilmu ushuluddin (dasar-dasar agama Islam)
10)   Ilmu ushul fiqih
11)   Ilmu nasikh mansukh
12)   Ilmu fiqih
13)   Ilmu hadits
14)   Ilmu asbab an-nuzul
15)   Ilmu mauhibbah (ilmu yang dianugerahkan Allah khusus untuk siapa saja yang mengamalkan apa yang diketahui)


Berdasarkan sumbernya, tafsir dibedakan jadi dua, yaitu:
1)       Tafsir bi Al Matsur (bil ar riwayah atau an-naql), adalah penafsiran al-qur`an yang mendasarkan pada penjelasan Al-Qur`an sendiri, penjelasan nabi, sahabat, melalui ijtihad dan pendapat (aqwal) tabi`in. dalam pengertian tersebut ada empat otoritas dalam tafsir al ma`tsur yaitu :
a)       Al-Qur`an yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap Al-Qur`an sendiri, seperti penafsiran kata muttaqin pada Q.S. Al-Imran: 133. Dengan menggunakan ayat berikutnya sebagai penafsir.
b)       Otoritas hadits Nabi, seperti kata azh-zhulm pada Q.S. Al-An`am:6
c)       Otoritas penejlasan sahabat, seperti Ibn Abbas terhadap kandungan Q.S. An-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi.
d)       Otoritas penjelasan Tabi`in, seperti penjelasan Q.S. Ash-Shafaat: 65 dengan sya`ir Imr Al-Qays.

Dalam segi otoritas riwayah ini, sebagian ulama mufassir seperti Ibn Syaibah dan Ibn Aqil masih memperdebatkan riwayah tabi`in, karena tabi`in tidak mengetahui secara langsung turunnya ayat. Berbeda dengan Ikrima dan Ad-Dahhak bin Al-Muzahim yang menerima langsung otoritas mereka. Dalam pertentangan ini, Quraish Shihab memberikan pandangan bahwa penafsiran nabi dan sahabat dibagi menjadi dua yaitu La Maja li al Aql fihi (Masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti masalah metafisika, dan Fi majal al-Aql (dalam wilayah nalar) seperti masalah kemasyarakatan.[18]

Kelebihan tafsir al-ma`tsur diantaranya :
a)       Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur`an,
b)       Memaprakan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya,
c)       Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya agar tidak terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.
Kelemahan tafsir Al-Ma`tsur diantaranya :
a)       Terjadi pemalsuan dalam tafsir,
b)       Masuknya unsur Israilliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur yahudi dan nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur`an,
c)       Penghilangan sanad,
d)       Terjerumusnya seorang mufassir ke dalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok AL-Qur`an kabur,
e)       Seringkali konteks asbab an-nuzul dipahami dari uraian nasikh mansukh, sehingga dianggap ayat tersebut turun di tengah masyarakat yang hampa budaya.

Diantara kitab tafsir al-ma`tsur diantaranya :Tafsir Al-Qur`an Al-Azhim karya Ibn Katsir, Jami Al-Bayan fi tafsir Al-Qur`an karya Ibn Jaris Ath-Thabari.


2)       Tafsir bi ra`yi,
Tafsir bi ra`yi muncul sebagai sebuah corak penafsiran belakangan setelah muncul tafsir al ma`tsur walaupun sebelumnya ra`yi dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan Al-Qur`an. Apalagi sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad. Diantara penyebab yang memicu kemunculan corak tafsir ra`yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran dan pakar dibidangnya masing-masing,

Seperti yang telah dijelaskan di awal pengertian tafsir ra`yi menurut Al-Farmawi dimaksudkan menafsirkan Al-Qur`an dengan ijtihad setelah mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosakata arab beserta muatan artinya.[19]
 
Kemunculan tafsir bi ra`yi juga dilatarbelakngi oleh hasil interaksi umat Islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal, oleh karenanya dalam tafsir bi ra`yi banyak dilakukan menggunakan akal yang paling dominan. Dengan latar belakang inilah banyak diantara para mufassir mempersoalkannya, diantaranya :

a)       Golongan yang menolak, banyak ulama yang menolak dikarenakan berbagai alasan diantaranya:
(1)     Menafsirkan Al-Qur`an berdasarkan ra`yi berarti berbicara firman Allah tanpa pengetahuan,
(2)     Yang berhak menjelaskan Al-Qur`an adalah nabi, ini terlihat dalam Q.S. An-Nahl : 44,
(3)     Dalam menafsirkan Al-Qur`an tidak sembarangan orang, harus yang betul-betul paham
b)       Golongan yang mengizinkan, mengemukakan pendapatnya itu yakni :
(1)     Di dalam Al-Qur`an banyak ayat yang menyeru untuk memahami kandungan Al-Qur`an,
(2)     Seandainya tafsir bi ra`yi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan,
(3)     Para sahabat sering berselisih pendapat, ini bukti bahwa mereka menggunakan ra`yi

Di dalam tafsir bi ra`yi juga, digolongkan tafsir yang dapat diterima dan ditolak. Tafsir bi ra`yi dapat diterima apabila selama mampu menghindarkan dari hal-hal :

a)  Memaksakan diri untuk mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat,
b)  Mencoba menafsirkan ayat yang maknanya hanya diketahui Allah,
c) Menafsirkan Al-Qur`an dengan disertai bahwa nafsu dan sikap istihsan (menilai sesuatu baik berdasarkan persepsinya),
d)  Menafsirkan ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham mazhab sebagai dasar,
e)  Menafsirkan Al-Qur`an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian…tanpa dalil.

Diantara contoh tafsir ra`yi yang tidak diterima adalah sebagai berikut :

a)  Penafsiran golongan syiah terhadap kata Al-Baqarah (Q.S. Al-Baqarah :67) dengan Aisyah r.a.
b)  Penafsiran Q.S. Al-Baqarah : 74 tentang anggapan adanya batu yang berfikir, berbicara dan jatuh karena takut kepada Allah.

Diantara kitab-kitab tafsir bi ra`yi diantaranya adalah : Mafatih Al-Ghalib karya Fakhr Ar-Razy, Lubab At-Takwil fi Ma`ani At-Takwil karya AlKhazim.

Sedangkan berdasarkan metodenya, menurut Quraish Shihab tafsir dibedakan menjadi 4 macam, diantaranya: 
1)       Tafsir Ijmali (Global)
Tafsir ijmali merupakan metode tafsir bagian dari tafsir al ma`tsur (berdasarkan riwayah). Metode tafsir ini mencoba menafsirkan Al-Qur’an dengan cara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.  Sistimatika  penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an.[20]

Kelebihan dan kelemahan

Kelebihan metode ijmali di antaranya, adalah:

a) Praktis dan mudah dipahami,
b) Bebas  dari penafsiran israiliyat,
c) Akrab dengan bahasa al-Qur’an.

Sedangkan kelemhannya antara  lain:

a)  Menjadikan  petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial, al-Qur’an merupakan  satu-kesatuan  yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan  kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.[21] 

b) Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai, Tafsir yang memakai metode ijmali tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian dan pembahasan yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Oleh karenanya, jika menginginkan adanya analisis  yang rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang menggunakan  metode ini. Namun tidak berarti kelemahan tersebut bersifat negatif, kondisi demikian amat posetif sebagai ciri dari tafsir yang menggunakan metode global.[22]

Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir Al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad  Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir al- Muyasasar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, dan sebagainya.

2)       Tafsir Tahlili (Analisis)
Yang dimaksud dengan metode analisis ialah menafsirkan  ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat- ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan  makna-makna  yang tercakup di dalamnya  sesuai dengan  keahlian  dan kecenderungan  mufassir  yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Jadi, ”pendekatan analitis” yaitu mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun  di dalam al-Qur’an.  Maka, tafsir yang memakai  pendekatan  ini mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit,  dengan  menggunakan  alat-alat  penafsiran  yang ia yakini efektif [seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang dikaji], sebatas kemampuannya di dalam membantu menerangkan makna  bagian  yang sedang  ditafsirkan,  sambil  memperhatikan  konteks naskah tersebut.
Metode  tahlili,  adalah  metode  yang berusaha  untuk  menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan  urutan-urutan ayat atau surah dalam mushaf,  dengan  menonjolkan  kandungan  lafadz- lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan  dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.

Kelebihan dan kelemahan [23]
Kelebihan metode ini antara lain:
a.       Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada  pada pembaca  bila dibandingkan  dengan metode-metode lain.
b.       Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif.
c.       Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat,
d.       Mendorong  untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat para mufassir yang lain.
Adapun kelemahannya adalah :
a.       Penafsiran  dengan  memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir, karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang- kadang ekstrim,
b.       Metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat,  karena metode ini lebih mengutamakan  perbandingan  dari pada pemecahan masalah,
c.       Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri  penafsiran-penafsiran yang pernah  dilakukan  oleh para ulama daripada  mengemukakan  penafsiran- penafsiran baru.

3)       Tafsir Maudhu`I (Tematik)
Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun,  kemudian dikaji secara mendalam  dan tuntas  dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.[24] Misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al- Qur’an terhadap ekonomi, dan sebagainya.
M.Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode meudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya  secara umum dan yang merupakan tema ragam  dalam surat tersebut  antara  satu dengan  lainnya  dan juga dengan  tema  tersebut,  sehingga  satu surat  tersebut  dengan  berbagai masalahnya  merupakan  satu kesatuan  yang tidak terpisahkan.  Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.[25]
Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan  bahwa, dalam perkembangan  metode maudhu’i ada dua bentuk  penyajian  pertama  menyajikan  kotak berisi pesan-pesan  al- Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya  kandungan  pesan tersebut  diisyaratkan  oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja.[26]
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya  sesuai dengan kapasitas  atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman  ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al- mahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.[27]

Kelebihan dan kekurangan
Kelebihan  metode  ini antara  lain :
a.       Menjawab  tantangan  zaman,
b.       Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode
c.       Metode tematik membuat tafsir al- Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman,
d.       Membuat pemahaman menjadi utuh.
Adapun kelemahannya adalah :
a.    Memenggal  ayat al-Qur’an,
b.    Membatasi pemahaman ayat. 

Selain keempat metode diatas, menurut Abdullah ibn Abbas seorang sahabat Rasulullah mengungkapkan bahwa dalam memahami Al-Qur`an pengkajian tafsir dapat dikalsifikasikan menjadi empat wilayah yaitu : [28]

1)  Tafsir yang menjelaskan halal dan haram yang wajib dibaca oleh semua orang,
2)  Tafsir yang dijelaskan oleh orang-orang Arab,
3)  Tafsir yang diinterpretasikan oleh para ulama,
4)  Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah semata terutama ayat-ayat mutasyabihat.

Sedangkan menurut At-Thabari lebih jelas mengungkapkan bahwa sedikitnya ada tiga materi kajian Al-Qur`an yang dapat diidentifikasi mufassir dalam menafsirkan Al-Qur`an, yaitu :

1)  Ayat-ayat yang hanya dapat ditafsirkan oleh Nabi SAW. Hal ini disandarkan pada Q.S. An-Nahl : 44,
2)   Ayat-ayat yang hanya diketahui oleh Allah semata, misalnya ayat yang berbicara tentang turunnya Isa bin Maryam,
3)   Ayat-ayat yang bisa ditafsirkan oleh setiap orang yang memiliki pengetahuan tentang bahasa Al-Qur`an yang meliputi pemahaman memahami infleksional, pengertian kata yang tidak homonim, dan pemahaman karakteristik kata sifat deskriptif.

Taufik Adnan Amal menilai bahwa sumbangan At-Thabari di atas merupakan evolusi teori hermeneutika Al-Qur`an, karena pengetahuan tentang materi kajian Al-Qur`an merupakan etape awal yang krusial dalam metode tafsir.[29] Maka dari gagasan inilah metode tafsir baru muncul seperti metode tafsir hermeunetika atau metode kontekstual.

PENUTUP
Literatur perkembangan tafsir telah dimulai pada masa Nabi dan para sahabat. Rasulullah beserta para sahabatnya telah mentardisikan, menguraikan dan menafsirkan Al-Qur`an sesaat setelah turunnya ayat tersebut. Tradisi itu terus berlangsung sampai wafatnya Rasulullah.

Dalam melakukan penafsiran  terhadap ayat-ayat  Al-Qur’an  pada saat itu dikenal dengan tafsir bil al-matsur sebagai tafsir yang bersumberkan dari Nabi, Sahabat, Tabiin, Tabi`it tabi`in sampai diturunkannya ke setiap generasi melalui periwayatan dan berlangsung sampai periode awal pengkodifikasian hadits, yang pada saat itu tafsir merupakan salah satu bagian kitab hadits itu. Penafsiran Al-Qur`an model seperti ini cenderung mengungkap fakta-fakta sejarah, seiring perkembangan keilmuan dan gesekan kebudayaan terlahir pula tafsir bi ra`yi yang cenderung mengedepankan akal sebagai ukurannya.

Selain sumber-sumber yang dijadikan bahan penafsiran juga tidak dapat dilepaskan bagi seorang mufassirin tidak dapat dilepaskan dari corak pemikirannya atau bahkan kepribadiannya yang menjadi latar belakang dalam memaknai, menguraikan dan menafsirkan suatu ayat dalam Al-Qur`an, seperti halnya corak dari tafsir sufistik, tafsir fiqih, tafsir falsafi, tafsir ilmi, tafsir adabi ijtima`i. Sehingga mampu melahirkan berbagai tafsir-tafsir yang beraneka ragam.

Diantara pengklasifikasian metode tafsir yang telah diuraikan, maka dapat ditarik suatu ikhtisar bahwa metode tafsir terbagi menjadi empat baik dalam bil ma`tsur maupun  bi ra`yi, sekalipun dalam perkembangan ilmu tafsir kontemporer telah dikenal dengan metode hermeneutika sebagai metode penafsiran modern. Diantara metode tafsir itu ialah :
1)       Tafsir Ijmali (Global)
2)       Tafsir Tahlili (Analisis)
3)       Tafsir Muqaran (Perbadingan)
4)       Tafsir Maudhu`I (Tematik)

BIBLIOGRAPHY

Syukri Saleh, Ahmad. 2007. Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman.
            Gaung Persada Press. Jakarta
Anwar Rosihon. 2008. Ilmu Tafsir. Pustaka Setia. Bandung
Amal, Taufik Adnan. 2001. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur`an. Penyusun Rizal Panggabean. Forum Kajian
            Agama dan Budaya. Yogyakarta
Palmer, E.Richard. 2005. Hermeuneutika; Teori Baru Mengenal Interpretasi. Terj. Musnur Hery. Pustaka
            Pelajar. Yogyakarta
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur`an. Mizan. Bandung
------------------------, 1997. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhui`y atas Perbagai Persoalan Umat. Mizan.
Bandung
Baidan, Nashruddin. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur`an. Pustaka Pelajar. Jakarta
Jurnal Almawarid edisi XVIII tahun 2008 ditulis oleh Hujair As-Sanaky dengan judul metode tafsir


________________________________________
[1] Disampaikan pada saat presentasi kelas pada mata kuliah Ilmu Tafsir di Prodi Religious Studies PPS UIN SGD Bandung, Dosen pengampu Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag
[2] Q.S. Al-Israa` : 9
[3] M. Quraish Shihab. 1992. Membumikan  Al-Qur’an. (Bandung: Mizan). hlm. 72.
[4] Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Alqur`an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman. (Jakarta; Gaung Persada Press, 2007). Hlm. 41
[5] Ibid.
[6] Rosihon Anwar. Ilmu Tafsir. (Bandung; Pustaka Setia, 2008), hlm. 141
[7] Ibid., Ahmad Syukri Saleh,, Metodologi Tafsir …hlm. 42
[8] Ibid., Rosihon Anwar, Ilmu …, hlm. 142
[9] Ibid., hlm. 165
[10] Pada saat itu, tafsir belum dikodifikasikan secara khusus surat persurat dan ayat per ayat dari awal hingga akhir mushaf, akan tetapi yang terjadi adalah ada sebagian ulama yang melakukan pengumpulan hadits bersamaan pula dengan dikumpulkannya riwayat-riwayat tentang tafisr yang dinisbatkan kepda Nabi, atau sahabat, atau tabi`in. Lihat Ibid. Rosihon Anwar, Illmu … hlm. 165
[11] Ibid.
[12] Dalam tafsir ijmali pada umumnya sukar menemukan uraian yang detail, karena itu tidak keliru apabila dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir Al-Qur’an yang pertama kali muncul dalam kajian tafsir Qur’an. Lihat Jurnal Almawarid edisi XVIII tahun 2008 ditulis oleh Hujair As-Sanaky dengan judul metode tafsir, hlm. 268
[13] Secara etimologi Ra`yi berarti keyakinan (i`tiqad), analogi (qiyas), dan ijtihad. Sedangkan dalam terminologi tafsir adalah ijtihad, tafsir bi ra`yi merupakan tafsir dirayah, sebagaimana Adz-Dzahabi mendefinisikan bahwa tafsir bi ra`yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad ijtihad dan pemikiran mufassir setelah menguasai bahasa arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab an-nuzul dan nasikh mansukh. Lihat ibid. Rosihon Anwar. Ilmu Tafsir, hlm. 151
[14] Corak sastra bahasa, timbul akibat banyaknya orang-orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri  di bidang  sastra,  sehingga  dirasakan  kebutuhan  untuk menjelaskan  kepada mereka tentang keinstimewaan  dan kedalaman arti kandungan al-Qur’an. Corak filsafat dan teologi,  akibatnya  penerjemahan  kitab filsafat yang mempengaruhi sementara  pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan  pendapat  setuju atau tidak setuju yang tercermin  dalam penafsiran  mereka. Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami  ayat-ayat  Al-Qur’an  sejalan  dengan  perkembangan ilmu. Corak  fiqih atau hukum,  akibat  berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiaran- penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan- gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Namun semenjak munculnya pemikir paembaharuan pada masa Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Lihat Ibid. Quraish Shihab. Membumikan … hlm. 72-73.
[15] Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran Al-Qur`an.(Jakarta; Pustaka Pelajar, 1998) . hlm. 6
[16] Perkembangan pemikiran  Islam; berbagai  peradaban  dan kebudayaan  non-Islam masuk  ke dalam  khasanah  intelektual  Islam. Akibatnya  kehidupan  ummat  Islam menjadi terpengaruh  oleh berbagai khasanah peradaban dan kebudayaan  itu.
[17] Ibid., Rosihon Anwar, Ilmu …, hlm. 166
[18] Ibid., Rosihon Anwar. Ilmu…, hlm. 145
[19] Ibid., hlm. 151
[20] Ibid., Nashruddin, Baidan. Metodologi Penafsiran…, Hlm. 13
[21] Sebagai contoh perhatikan  firman Allah  dalam  q.s. Ar-Ra`du ayat 11
[22] Ibid., Hlm. 22-27
[23] Ibid., Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran,  Hlm. 143-144
[24] Ibid., Hlm. 155
[25] Ibid., M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, Hlm. 74
[26] M. Quraish Shihab. 1997. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhui`y atas Perbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. hlm. xiii.
[27] Ibid., Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran,  Hlm. 152
[28] Ibid., Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir … Hlm. 44
[29] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur`an. (Yogyakarta; Forum kajian budaya dan agama, 2001), hlm. 356

0 comments:

Post a Comment