RSS
Facebook
Twitter

Wednesday 11 December 2013



Semangat Para Ulama Salaf Dalam Menuntut Ilmu

Para ulama salaf telah memberi contoh terbaik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam menuntut ilmu agama, meraihnya serta rindu kepadanya. Marilah wahai saudaraku tercinta, mengembara bersama kami untuk memetik mawar-mawar mereka.

Abdun bin Humaid berkata, ketika pertama kali duduk, Yahya bin Ma’in bertanya kepada saya tentang sebuah hadits. Saya sampaikan kepadanya, “haddatsana Hammad bin Salamah ‘an …“, Yahya bin Ma’in pun memotong “seandainya engkau membacakan hadits dari kitabmu niscaya itu lebih baik dan lebih kuat (validitasnya)”. Lalu aku katakan, “kalau demikian saya akan pergi untuk mengambil kitab saya”. Tiba-tiba Yahya bin Ma’in memegang bajuku dan berkata, “kalau begitu bacakan saja dari hafalanmu, karena saya khawatir tidak bertemu anda lagi (maksudnya ia khawatir Abdun bin Humaid wafat ketika mengambil kitab)”. Maka aku pun membacakannya dari hafalanku, lalu saya pergi mengambil kitabku dan membacakannya lagi (Al Jami’ li Akhlaqir Rawi Wa Adabis Sami’, Al Khatbib Al Baghdadi).

Syaikh Abdullah bin Hamud Az Zubaidi belajar kepada Syaikh Abu Ali Al Qaali. Abu Ali memiliki kandang ternak di samping rumahnya. Beliau mengikat tunggangannya di sana. Suatu ketika, murid beliau, Abdullah bin Hamud Az Zubaidi, tidur di kandang ternaknya agar bisa mendahului murid-murid yang lain menjumpai sang guru sebelum mereka datang. Agar bisa mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin sebelum orang berdatangan. Allah mentakdirkan Abu Ali keluar dari rumahnya sebelum terbit fajar. Az Zubaidi mengetahui hal tersebut dan langsung berdiri mengikutinya di kegelapan malam. Merasa dirinya dibuntuti oleh seseorang dan khawatir kalau itu seorang pencuri yang ingin mencelakai dirinya, Abu Ali berteriak, “celaka, siapa anda?”. Az Zubaidi berkata, “aku muridmu, Az Zubaidi”. Abu Ali berkata, “sejak kapan anda membuntuti saya? Demi Allah tidak ada di muka bumi ini orang yang lebih tahu tentang ilmu Nahwu selain anda, maka pergilah tinggalkan saya” (Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/119).

Bayangkan! Semoga Allah menjaga anda wahai pembaca sekalian, betapa menggelora semangat Az Zubaidi untuk menuntut ilmu dan meraihnya. Kemauan keras yang membuat seorang murid rela tidur bersama ternaj agar bisa cepat menemui gurunya dan mengambil ilmu darinya. Bagaimana kita bisa dibandingkan dengan mereka?

Syu’bah bin Hajjaj datang menemui Khalid Al Hadza’ rahimahumallah. Lalu Syu’bah bin Hajjaj berkata, “wahai Abu Munazil, engkau memiliki hadits tentang ini dan itu, tolong ajari saya hadits tersebut”. Khalid ketika itu sedang sakit dan berkata, “saya sedang sakit”. Syu’bah berkata, “hanya satu hadits saja, tolong ajarkan kepadaku”. Khalid kemudian menyampaikan hadits tersebut. Setelah selesai, Syu’bah berkata kepadanya, “sekarang, anda boleh mati jika anda mau” (Syarafu Ash-habil Hadits, Al Khatib Al Baghdadi, 116).

Ja’far bin Durustuwaih berkata, “kami harus mengambil tempat duduk di sebuah majelis sejak ashar untuk mengikuti kajian esok hari, karena saking padatnya pengajian Ali bin Al Madini. Kami menempatinya sepanjang malam karena khawatir esoknya tidak mendapatkan tempat untuk mendengarkan kajiannya karena saking penuh sesaknya manusia. Saya melihat seorang yang sudah tua di majelis tersebut buang air kecil di jubahnya karena khawatir tempat duduknya diambil apabila ia berdiri untuk buang air” (Al Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’, Al Khatib Al Baghdadi, 2/199).

Kisah seperti ini tidaklah mengherankan karena tempat kajian bukan di masjid tetapi di salah satu tempat yang luas di tengah kota atau di pinggirnya. Murid yang cerdas ini sedang menunggu kehadiran gurunya untuk menyampaikan pelajaran selain di waktu shalat, seperti shalat Shubuh atau Ashar atau antara Zhuhur dan Ashar. Dia ingin kencing namun takut kalau dia berdiri dari tempat duduknya maka akan diduduki oleh orang lain. Jadi dia kencingi jubahnya, dan tidak ada seorang pun yang melihat auratnya. Tempat kajian biasanya besar dan luas. Dia mengeluarkan jubahnya dan melipatnya. Ketika pelajaran usai, ia tumpahkan air seni dari jubahnya, kemudian mencucinya. Apa yang asing dari hal ini?

Abu Hatim berkata, saya mendengar Al Muzani mengatakan, Imam Asy Syafi’i pernah ditanya, “bagaimana semangatmu dalam menuntut ilmu?”. Beliau menjawab, “saya mendengar kalimat yang sebelumnya tidak pernah saya dengar. Maka anggota tubuh saya yang lain ingin memiliki pandangan untuk bisa menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang dirasakan telinga”. Lalu beliau ditanya lagi, “bagaimana kerakusan anda terhadap ilmu?”. Beliau menjawab, “seperti rakusnya orang penimbun harta, yang mencapai kepuasan dengan hartanya”. Ditanya lagi, “bagaimana anda mencarinya?”. Beliau menjawab, “sebagaimana seorang ibu mencari anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak lain selain dia” (Tawaalit Ta’sis bin Manaqibi Muhammad bin Idris, Ibnu Hajar Al Asqalani, 106).

Ibnu Jandal Al Qurthubi berkata, saya pernah belajar pada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih dekat dengannya. Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya berkata dalam hati, “Subhaanallah, saya sudah datang sepagi ini tapi tetap saja tidak bisa duduk di dekatnya?”. Kemudian saya melihat sebuah terowongan di samping rumahnya. Saya membuka dan masuk ke dalamnya. (Itu adalah sebuah terowongan di dalam tanah, saya masuk agar bisa sampai ke ujung terowongan hingga keluar darinya menuju ke majelis ilmu). Ketika sampai di pertengahan terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Maka saya mencoba melebarkan terowongan selebar-lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding terowongan membekas di tubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas. Allah menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya. Sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu (Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/363 dengan saduran).

Sa’id bin Jubair berkata, “saya pernah bersama Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma berjalan di salah satu jalan di Mekkah pada malam hari. Dia mengajari saya beberapa hadits dan saya menulisnya di atas kendaraan dan paginya saya menulisnya kembali di kertas” (Sunan Ad Darimi, 1/105).

Imam Asy Syafi’i berkata, “saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya menaruhnya di dalam botol yang sudah tua” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98).

Salim Ar Razy menceritakan bahwa Syaikh Hamid Al Isfirayaini pada awalnya adalah seorang penjaga (satpam) di sebuah rumah. Beliau belajar ilmu dengan cahaya lampu di tempat jaganya karena terlalu fakir dan tidak mampu membeli minyak tanah untuk lampunya. Beliau makan dari gajinya sebagai penjaga (Thabaqatus Syafi’iyah Al Kubra, Tajuddin As Subki, 4/61).
Ibnu Asakir ketika menyebutkan biografi seorang hamba yang shalih, Abu Manshur Muhammad bin Husain An Naisaburi, beliau berkata, “beliau (Abu Manshur) adalah orang yang selalu giat dan semangat dalam belajar. Meski dalam keadaan faqir dan tidak punya. Sampai-sampai beliau menulis pelajarannya dan mengulangi membacanya di bawah cahaya rembulan. Karena tidak punya sesuatu untuk membeli minyak tanah. Walaupun beliau dalam keadaan faqir, namun beliau selalu hidup wara’ dan tidak mengambil harta yang syubhat sedikitpun” (Tabyiin Kidzbil Muftari, Ibnu Asakir Ad Dimasyqi).


0 comments:

Post a Comment