RSS
Facebook
Twitter

Monday 28 October 2013

Antara Nabi, Dukun, dan Penyair






Antara Nabi, Dukun, dan Penyair

Kenapa bahasan tentang perdukunan dan sihir diletakkan setelah bahasan tentang kenabian?

Saya kira alasannya jelas: perdukunan adalah gejala yang hampir menyerupai kenabian. Dengan kata lain, perdukunan dan kenabian adalah "gejala mental" yang masih satu keluarga. Itulah sebabnya, dulu Nabi pernah dituduh sebagai dukun (kahin) atau penyihir oleh masyarakat Mekah. Tuduhan ini tak mungkin terjadi kalau tak ada kedekatan antara kedua gejala itu. Tetapi, tentu perdukunan mempunyai sifat-sifat yang secara kategoris berbeda dengan kenabian. Kenabian bersumber dari Tuhan, perdukunan dari Setan; meskipun pembuktian sesuatu berasal dari Tuhan dan yang lain berasal dari setan bukan perkara mudah.

Dalam seluruh sejarah kenabian, selalu ada masalah para "impostor", yakni nabi-nabi gadungan yang hanya mengaku-ngaku nabi tanpa bukti yang meyakinkan. Tetapi, anyway, baik dukun ataupun nabi, keduanya punyai klaim telah menerima "inspirasi" dari sumber yang gaib. Soal sumber yang satu bersifat baik, yang lain jahat, itu perkara lain.

Yang menarik lagi, coba perhatikan sejumlah hadis yang mengecam keras orang-orang yang datang ke dukun. Sebuah hadis menyebutkan, seseorang yang mendatangi dukun, pahala ibadahnya akan hangus semua dalam kurun waktu 40 hari (tidak masuk dalam leger amal yang dipegang malaikat). Di sini, tampak adanya kontestasi antara kenabian dan perdukunan. Perdukunan adalah semacam "dunia gelap" yang bisa merongrong wibawa kenabian. Kenabian selalu keep an eye atas dunia perdukunan, sebab kalau tidak, otoritasnya dapat disubversi.

Para teolog Islam pun berusaha menghancurkan wibawa perdukunan, sebab ia memang mengancam kenabian. Tak heran kalau bahasan tentang perdukunan langsung menyusul bahasan tentang kenabian.

Pesaing kenabian yang lain adalah penyair. Sebagaimana Nabi, seorang penyair juga mengklaim mendapat inspirasi. Karena itu, dulu Nabi juga dituduh sebagai penyair. Wahyu menyangkal keras tuduhan ini. Para teolog Islam pun menyangkal kalau Alqur’an adalah puisi, sebab, jika dikatakan demikian, ada kekhawatiran Alqur'an adalah sama dengan puisi para penyair yang merupakan pesaing Nabi itu. Padahal, secara literer, beberapa ayat Alqur'an jelas menyerupai puisi, terutama puisi bebas (bukan puisi taf'ilah dalam istilah Ilmu 'Arudl atau ilmu tentang puisi klasik Arab –yakni puisi yang memakai meter atau ukuran/wazan).

Dengan demikian, kita telah melihat persaingan yang sengit antara Nabi, Dukun, dan Penyair.

Kalau kita lihat ketiga jenis manusia itu, akan tampak bahwa ketiganya bergerak pada level kognitif dan mental yang hampir serupa; ketiganya bergerak pada level inspirasi-intuisi. Dalam menegakkan klaimnya, ketiganya tidak menyandarkan diri pada bukti rasional, tetapi sejenis "keajaiban" yang datang dari dunia eksternal. Dalam kasus Nabi, keajaiban itu disebut "mukjizat"; pada dukun "istidraj"; dan pada penyair, "keajaiban kata-kata" atau mantra/thalâsim.

Ketiganya tidak pernah memakai argumen rasional untuk mendukung klaimnya masing-masing, meskipun Alqur'an, sebagai bukti kenabian Muhammad, telah diklaim mengajukan bukti-bukti rasional juga oleh para teolog Islam (menurut saya, klaim ini kurang begitu meyakinkan).

Dengan kata lain, baik Nabi, Dukun, dan Penyair mewakili suatu jenis artikulasi mental tertentu dalam sejarah peradaban manusia. Yaitu, artikulasi peradaban yang bersifat ekspresif-performatif. Inilah peradaban yang diwariskan oleh nabi-nabi Israel (Islam masuk juga dalam kategori ini).

Di seberang peradaban ini, ada jenis peradaban lain yang sumbernya bukan wahyu atau inspirasi, tapi penalaran rasional yang dingin, analitis, dan cenderung individualistik. Itulah peradaban yang lahir di Yunani, dengan "nabi-nabi"-nya yang tak kalah mengagumkan, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka berangkat dari pengandaian yang berbeda, yaitu "skeptisisme".

Kaidah dasar dalam peradaban analitis-rasional adalah "ragu dulu, berpikir, baru percaya", yang berseberangan dengan etos peradaban ekspresif yang bersumber dari Ibrahim, "percaya dulu, baru berpikir". Dasar agama memang "percaya", sementara dasar filsafat adalah "ragu". Etos yang berkembang dalam kedua bidang itu sangat berjauhan.

Saya tahu, ini hanya simplifikasi dari fenomena yang sangat ruwet dan kompleks. Tetapi, tipologi peradaban ekspresif dan analitik bukan tidak mengandung kebenaran. Dengan kata lain, kita menyaksikan persaingan antara Peradaban Yerusalem vs Peradaban Yunani; antara Nabi di satu pihak dan filosof di pihak lain. Di dalam peradaban Yerusalem sendiri ada persaingan antara Nabi, Dukun, dan Penyair.

WALLOHU A'LAM

0 comments:

Post a Comment